Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cantik Bawaan, Cantik Polesan, Sah!

17 Juli 2019   16:24 Diperbarui: 17 Juli 2019   16:52 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

0 Advanced issues found▲

 

Seorang wanita yang ingin terlihat lebih cantik dari keadaaan sebenarnya adalah hal lumrah. Terlihat cantik di mana  saja. Cantik di rumah bikin suami betah memandang, cantik di lingkungan kerja bikin teman sejawat lebih bersemangat, cantik di sekolah bikin anak peminggat jadi rajin masuk kelas, cantik di pelaminan bikin tamu undangan ikhlas mendengarkan kata sambutan ahli rumah walau sejam bablas.

Bagi politisi perempuan, terlihat lebih cantik di media sosial, di spanduk, di kartu nama, jelas menjadi  keharusan. Bikin penggemar vote dirinya tambah banyak. Ujung-ujungnya, kesampaian niat deh jadi anggota DPR/DPD. Dan itu sah! Sah jumlah suara yang didapatnya dari penggemar "sesuatu yang cantik" tadi. Lagian hukum pemilu untuk mengesahkan jumlah suara, bukan untuk mengesahkan bahwa dia memang cantik atau seperempat cantik, atau untuk menghakimi dia mengelabui publik dengan sihiran kosmetik atau mistik?

Bawaan agar terlihat cantik dari sesungguhnya tak hanya didorong faktor kodrat semata. Faktor lingkungan dan didikan dalam keluarga sedari kecil juga turut berperan. Coba, orang tua mana yang tidak bangga melihat bidadari kecilnya berlenggak-lenggok bak peragawati di atas tiker lusuh atau kasur mewat? Pasti semuanya suka dan kerap memuji aktivitas menggemaskan si kecil dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Tanpa harus bertanya ke lembaga survei, bisa dikatakan hampir semua orang tua selalu menginginkan anak perempuannya terlihat lebih cantik dalam keseharian mereka. Instrumen untuk memuji paling umum biasanya cukup dengan melirik pakaian yang dikenakan. Pantas atau tidak, sinkron atau kagak. Seorang anak yang wajahnya memang cantik tidak akan mendapatkan pujian jika mengenakan pakaian diasosiakan dengan pengemis. Bolong di sana sini. Sebaliknya anak yang kurang cantik pun tetap akan dipuji cantik jika mengenakan pakaian yang serasi, sopan dan pantas. 

Soal akreditasi wajah yang sebenarnya, cantik (A), kurang cantik (B), pas-pasan (C), atau alamak (D), memang kurang mendapat tempat sebelum orang tua melontarkan pujian pada anaknya. Bisa menimbulkan pertengkaran antar anak bangsa. Bayangin saja kalau orang tua sudah mempertengkarkan genetika mereka sendiri.

"Tau tidak, cantik itu bawaan bapak, pas-pasan itu bawaan ibu", dan lalu si bapak menyela, "Boong, Nak. Ganteng itu bawaan nenek dari sebelah bapak, jelek itu bawaan datukmu dari sebelah ibu!"

Prang...! Gelas pun singgah di lantai.

Jelas,  kesalahan dalam menilai instrumen  pujian hanya bikin rumah tangga bersitegang kecil-kecilan. Cuma kalau dipelihara bisa jadi bersitegang benar-benaran. Pertengkaran anak bangsa bisa mendorong memicu munculnya "hak untuk menentukan nasib sendiri", referendum, merdeka! Cerai! Gawat, kan?

Jadi, memuji tanpa instrumen asli sebenarnya adalah cara orang tua untuk mengasihi anak perempuannya, sekaligus untuk menjaga kerukunan dalam berumah tangga. Sah!

Dan memang, tak bisa dipungkiri, orang tua selalu menganjurkan anak perempuannya agar berpakaian dengan rapi untuk menjaga kecantikan mereka, baik kecantikan yang terpancar dari parasnya, kecantikan lain yang dikaitkan dengan perilaku, atau kecantikan yang tersembul dari caranya berdandan. 

Untuk memenuhi kategori cantik model terakhir tadi, terkadang orang tua rela memotong anggaran personal mereka untuk  menutupi kebutuhan anggaran   anaknya dalam bersolek. Bohong kalau orang tua mengaku tidak pernah memikirkan hal tersebut.    

Lihat saja di ujung bulan, minimal setahun sekali, mal-mal dijejali oleh anak perempuan plus ibunya untuk "merazia" model pakaian terbaru,  yang trendi dan modis, tengah  populer di zamannya.  Di era modern, di mana model berpakaian seseorang gampang ditiru oleh orang lain, orang tua sepertinya dituntut memiliki  anggaran wajib untuk  menyediakan sebagian kebutuhan tersebut, sebelum anaknya ngambek dan melontarkan berbagai ancaman. 

Mau tak mau hampir semua orang tua dituntut berpikir dan bekerja keras untuk menyiapkan anggaran tak terduga  sebelum anaknya mengacam mogok makan, ogah sekolah, atau mengancam kawin lari jika keinginannya tak terpenuhi. Posisi orang tua menjadi pelik. Dituruti bisa menguras anggaran, nggak dituruti takut ancaman jadi kenyataan. Ya sudah, Jurus mengalah adalah jalan terbaik. Faktanya memang, segarang apapun orang tua umumnya gampang takluk dengan ancaman tersebut.

Alokasi ortu untuk menyiapkan "seperangkan alat dandan" bagi anak perempuan bukan sedikit. Kadang dua kali lipat dari anak anak laki-laki, yang cukup dibelikan kemeja atau kaos oblong plus celana panjang ala kadarnya saja. Sedangkan untuk anak perempuan tentu banyak turunan uang yang harus dikeluarkan. 

Sudah dibeliin baju ala Via Valen, roknya mau model Nella Kharisma. Belum lagi bandonya, harus sama mahal dengan anak Sandiaga Uno, dan bentuknya juga harus mirip dengan anak Ahok. Haduh, bikin puyeng. Belum lagi soal pita. Bedak.  Alat-alat kosmetik agak berkelas juga mesti dipikirkan ortu jika anak sudah menginjak remaja. Semua diperbuat hanya agar anak bisa terlihat lebih cantik. Sah!

Cantik itu memang bisa bawaan dan bisa juga polesan. Sah-sah saja anak gadis atau emak-emak ingin terlihat lebih cantik di hadapan si cantik. Tak perlu dicela. Naluri dan didikannya sudah begitu. Terlalu naif jika kita  meremehkan keinginan seorang perempuan untuk terlihat lebih cantik dengan mengatasnamakan kejujuran.

"Saya maunya yang orisinil, apa adanya."

"Tampang jelek, tapi di efbe dibikin cantik. Dasar penipu!"

"Hmm, fotonya tidak secantik realitas!"

Ngedumel saja kerjanya. Padahal istri, emaknya, neneknya, kalo pergi ke kondangan dandanan mereka mungkin tak mau kalah cantik dan "wow" dibanding ABG tanah abang. Batik kelas atas dari Pekalongan, kebaya dihiasi emas ala produk Solo, sanggul setinggi tumpeng Yogya, sepatu hak tinggi bikinan Paris, Tuh lihat, pengen dipandang cantik saja sampai melibatkan banyak negara. Kok situ nggak nyinyir?

Semua orang pasti menginginkan anak gadisnya, saudara perempuan, emaknya, hingga neneknya tampil dengan anggun dan terllihat lebih cantik di mana saja. Di rumah, di sekolah, di masjid atau gereja, bahkan naik pelaminan pun harus terlihat lebih cantik dari sesungguhnya. Kalau anda menginginkan mereka tampil apa adanya, berarti anda termasuk mahluk yang pelit membahagiakan kaum perempuan dengan uang halal.

Lawan!

Hahaha....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun