Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Afi dari Budaya Literasi

1 Juni 2017   00:56 Diperbarui: 8 Juni 2017   19:52 1754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mari kita bandingkan status FB Afi di atas dengan paragraf halaman 52 yang tercantum dalam buku “The Server Leadership : Story’ Inspirasi Kepemimpinan Menuju Kesuksesan dan Kebahagiaan” karya Urgyen Rinchen Sim seperti di bawah ini.

Saat mengulas Bab 3 yang berjudul “Mendengar Dengan Hati”, Rinchen menyuguhkan sebuah kisah:

“Papa, lihat deh, gambarku bagus enggak?”ucap seorang anak pada ayahnya.

“Bagus, Nak. Bagus banget,”ujar ayahnya singkat. Dia hanya menoleh sedikit, lalu melajutkan aktifitasnya, membaca sebuah koran.

Berulangkali sang anak meminta perhatian orangtuanya, setiap kali demikian pula respon yang diberikan. Anak itu tahu ayahnya tidak memberikan ucapan yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin berkata benar, jika melihat gambarnyapun hanya sekilas saja, tanpa perhatian yang sungguh-sungguh. Padahal yang dia inginkan bukan perkataan bagus, atau pujian tidak tulus lainnya, melainkan perhatiannya.

Adakah persamaannya? Adakah perbedaannya? Ya. Ada kesamaan soal memulai sebuah gagasan dan pesan moral yang ingin disampaikan. Kata kuncinya ada di “Gambar, respon dan nilai sebuah pujian”. Perbedaannya di mana? Soal membahasakan. Itu saja yang membuatnya sedikit beda.

Lalu apakah dengan adanya kesamaan pesan moral ini Afi diduga sebagai seorang plagiat? Sampai detik ini saya kurang tahu persis batasan Plagiarisme dan non Plagiarisme. Serahkan penilaian itu pada Ahlinya. Saya sendiri cukup bilang,”Wallahu’alam, Bro”. Perlu pengakuan jujur dari Afi apakah ia menulis status yang dipandang keren tersebut murni dari pemikirannya, atau mengutip buku yang saya maksud? 

Namun dibalik itu, saya pribadi  cukup kagum dengan ketelatenan seorang Afi dalam bermedsos dan kecintaannya terhadap budaya literasi.  Kuatnya budaya Literasi seseorang sedikit banyak akan mempengaruhi bobot dari apa yang ia tuliskan. Baru remaja saja bobot tulisannya sudah begitu. Apalagi kalo Afi sudah punya cucu, Ya. Mungkin gizi tulisannya tambah “nendang” tuh.

Standar kekaguman saya baru sebatas  ini. Indikatornya sederhana. Coba bayangkan, di saat para remaja generasi Android sekarang sibuk bermain gadget dan ber-selfie ria, bahkan ada yang memburu status almarhum/almarhumah  akibat  gaya selfie yang semberono, menantang kelaziman alam : nantang jatuh dari ketinggian, nantang adu kuat dengan kereta atau mobil dan seterusnya, tak dinyana Afi malah menyibukkan dirinya dengan bacaan-bacaan yang berat, bacaan yang hanya cocok dibaca oleh kalangan penguasa, kaum agamawan dan politisi seperti perkara kebangsaan, kerukunan, kemajemukkan atau kebhinnekaan. Alhasil wawasan seorang Afi bertambah lumayan jauh meninggalkan anak seusianya. 

Reaksinya menjadi wajar ketika memandang ketidaktoleransian. Ketika muncul sebuah kegelisahan dalam dirinya menyikapi fenomena hubungan antar kemanusiaan  yang dianggapnya kian memudar, Afi dengan lugas memproduksi status-status yang mencerahkan.  Yang justeru dianggap sebuah ketidakwajaran bagi sebagian orang. Namun ketidakwajaran dalam artian positif.

Momentum yang sangat tepat ketika Afi menyuarakan kegelisahannya. Ia sontak populer dengan berbagai statusnya. Pujian mengalir sederas banjir sungai Ciliwung. Sosok remaja seperti Afi dianggap mewakili remaja ketidakbanyakkan. Cirinya lebih suka menguras otak daripada memperbincangkan bentuk pakaian atau paras tampan seleb  Korea. Perilaku beda akibat menguatnya budaya  literasi seorang remaja seperti Afi inilah yang saya apresiasi. Lebih dari itu itu izinkan saya menganggapnya  biasa-biasa saja. Jadi besok atau lusa jangan pernah mengajak saya lagi untuk ikut-ikutan menghebohkan Afi dan Afi-Afi  yang lain. Kecuali mengusung hal baru. Saya juga menolak untuk memberangus akalnya.   Sebab, Afi Nihaya ini mengingatkan saya pada sosok pacar di masa lalu. Cuma nggak mirip aja. Ciaaaaat...!

Salam tanpa heboh!

(Mohon maaf pada Dik Afi, jika kurang berkenan dengan artikel ini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun