Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mulai Lapar : Mantan Santri Seusil Mantan Preman (Tanggapan Artikel Alan Budiman)

1 September 2015   00:16 Diperbarui: 1 September 2015   00:16 4220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Sepertinya tidak lucu membandingkan pencapaian Jokowi yang baru berapa tahun menjabat dengan SBY. Melakukan itu sama saja membandngkan prestasi PSSI dengan KNVB-nya Belanda. Apa yang diperbuat SBY pada masanya, akan tertoreh dalam tinta sejarah. Yang kurang atau belum selesai akan dilanjutkan pada masa pemerintahan Jokowi. Yang tidak selesai pada masa pemerintahan Jokowi, akan dilanjutkan oleh Anies Baswedan, Bu Susi, Rizal Ramli, Prabowo, mantan pacar, mantan pakar, mantan presiden  atau bahkan oleh Jokowi sendiri jika ia kembali terpilih untuk periode kedua.

Namun membaca artikel sdr “mantan Pakar” alias “Mantan Santri”, yang rada-rada “canggih”, saya menjadi bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Alan Budiman sehingga gampang sekali membuat artikel “liar” yang sifatnya kaya polemik (minus kearifan) dan suka memancing kegaduhan(mengabaikan keteduhan), seperti harapan beberapa pembaca dilapaknya?

Entahlah, seperti artikel-artikel anyar  lainnya, Alan punya hak untuk bertahan dengan karakternya Zuhairi Misrawi atau Ade Armando-nya, seperti halnya saya yang punya hak untuk membantah artikelnya yang “aneh”, “agak angkuh dan sombong” tersebut dengan bahasa tidak kala ndeso dibanding Jokowi. Soal kesan angkuh dan sombong (dalam tanda kutip) Alan ini mudah ditangkap ketika kita membaca bahasa sdr Alan saat membalas komentar yang dianggap berseberangan olehnya. Aduh, ngeri deh! (mohon maaf untuk yang bersangkutan. Semoga lebih santun, dan selanjutnya ber-reinkarnasi dari status mantan santri menjadi santri beneran. Hiks...)

Oke, lanjut. Dalam artikelnya di sini, sdr kita Alan Budiman dengan fasihnya berbicara soal hutang. Alan mempersoalkan nilai hutang negara yang membengkak 100 persen. Catatan dari penulis menyatakan hutang negara per Agustus 2014 sudah mencapai 2.500 trilyun. Trilyunan uang tersebut “dimakan” oleh kabinet tikus tiap bulannya. Tuduhan yang sangat kejam, namun tak perlu dipersoalkan, sebab barangsiapa menuduh tanpa menghadirkan bukti sudah tahu konsekuensinya dunia akhirat.

Soal hutang negara mencapai 2.500 trilyun itu sebenarnya tak perlu dikhawatirkan oleh sdr Alan Budiman. Jokowi saja tak khawatir, kok. Buktinya pada 9 juli 2015 yang lalu, ketika hutang negara bulan Mei tercatat Rp2843,25 trilyun, menurut Jokowi hal itu tak perlu dikhawatirkan. Utang negara itu sangat kecil dibanding dengan Gross Domestic Product (GDP). Rasionya baru 25 persen terhadap GDP. (sumber)

Nah, kalau seorang Jokowi saja tidak khawatir dengan membengkaknya hutang negara sekitar 13,73 persen dibanding Mei 2015, kok masih ada yang menyalahkan SBY dengan hutangnya yang lebih rendah dari itu. Saya kurang tahu logika berpikirnya bagaimana. Logika berpikir saya sederhana. Kalau hutang 1 juta bikin kita malu jika tak mampu membayar, tentu hutang 10 juta tak hanya bikin malu, juga stress. Kalau ada yang berpikir sebaliknya, percayalah, ketika nalar sudah mati, saya khawatir seseorang tak bisa lagi berpikir objektif.

Di paragraf berikutnya Alan Budiman terkesan menyalahkan SBY karena selama 10 tahun menjabat, menurutnya, tidak ada pembangunan waduk massal untuk mencapai swasembada pangan. Artinya Alan yakin selama pemerintahan Jokowi sudah ada pembangunan waduk secara massal. Sayang Alan tak melengkapi data di daerah mana waduk massal itu sudah dibangun dan benarkah sudah tercapai swasembada pangan jika sudah terealisir? Kita minta penulis secara arif menyajikan data lanjutan kelak.

Atau kalau Alan malas mencari referensi. Berikut disajikan dengan ringkas waduk atau bendungan yang dibangun pada masa pemerintahan Jokowi.

  • 10 Maret 2015 - Bendungan Keureuto, Aceh. Nilai proyek 700 Milyar.
  • 20 Desember 2014 - Bendungan Raknamo, NTT. Nilai proyek 710 milyar lebih. (Proyek bendungan ini hasil kerja Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI)semasa pemerintahan SBY, bukan program kerja Kabinet kerja)
  • 7 Mei 2015 – Bendungan Way Leman, Maluku. Nilai Proyek 25,81 Milyar (Bendungan ini bendungan lama yang dibangun pada masa orba, sekitar tahun 1982-1983 namun rusak karena banjir. Dibangun kembali dari tahun 2012-2015. Jadi pembangunan bendungan ini bukan karya pemerintahan SBY atau Jokowi!) (sumber)

Praktis dari 3 bendungan di atas yang dirilis media, hanya satu saja yang murni merupakan program pemerintahan Jokowi yakni bendungan Keureuto, Aceh. (silahkan jika ada yang ingin memberi tambahan data).

Memang berdasarkam program pemerintahan sekarang, ada 13 bendungan yang akan dibangun. Lainnya “baru akan”. Tak tertutup kemungkinan dari 13 bendungan yang akan dibangun tadi sifatnya hanya “melanjutkan” program dari pemerintahan sebelumnya. Misalnya bendungan Raknamo seperti di atas, atau bendungan Bintang Bano. Bendungan yang akan dibangun ini murni diprogramkan pemerintahan sebelumnya.

Dan di bawah ini sejumlah bendungan yang dibangun masa pemerintahan SBY.

  • 2009 – Bendungan Jatibarang, Jawa Tengah (Yang meresmikan memang Jokowi)
  • 6 Juni 2015 – Bendungan Waigeren, Pulau Buru, Maluku.
  • 6 Juni 2012 – Bendungan Waimatakabo, Pulau Seram, Maluku.
  • 6 Juni 2012 – Bendungan Waisamal, Pulau Seram, Maluku.
  • 24 Agustus 2014 – Bendungan Waroser, Papua.
  • 5 September 2014 – Bendungan Tiba, Buleleng, Bali. Nilai proyek 428. (Kontsruksi sudah selesai 96 persen pada tanggal tersebut)

Masih banyak lagi bendungan yang telah dibangun atau digagas pada masa pemerintahan SBY. Misalnya Bendungan Bintang Bano (Mataram), Bendungan Gondang (Solo, Jawa Tengah), Bendungan Mujur, Pandanduri, dan bendungan Meniting (NTB).

Pada kalimat selanjutnya, Alan menulis dengan ambigu. Katanya,” Tidak ada pembangunan infrastuktur transportasi massal luar jawa agar harga komuditas di sana bisa ditekan.” Alan gagal memaparkan fakta, infrastruktur tranportasi massal seperti apa yang sudah dibangun pemerintahan sekarang sehingga harga komoditas bisa ditekan? Membangun jalan tol, jalan negara, jalan propinsi atau pelabuhan (tol laut versi Jokowi)? Saya pikir pada masa pemerintahan sebelumnya semua itu sudah dilakukan. Kalau belum menurut Alan, apakah harga komoditas bisa ditekan? Ah bercanda, wong harga-harga sekarang meroket, kok bilangnya “menekan harga”.

Jujur, selanjutnya saya tak berselera menanggapi opini sdr Alan dengan semua fakta yang tersebar di jagad maya. Isi artikel Alan selanjutnya gampang ditebak. Hanya mencari pembenaran atau suatu peristiwa dengan mengkaitkan kejadian yang dipandang basi. Misalnya soal impor dikaitkan dengan kartel Sapi (merujuk pada kasus LHI), padahal sapi sekarang terjadi zaman siapa dan sifatnya impor juga. Atau soal gebrakan menteri Susi. Untuk yang satu ini Alan enggan mengkaitkan dengan gebrakan menteri Puan dengan website “revolusi mental”-nya. Hahaha...

Lalu di paragraf berikutnya, paragraf berikutnya dan paragraf berikutnya...ah, mohon maaf. Saya memang membaca habis artikel yang bersangkutan. Namun tak selera untuk menanggapinya. Mengingat, pada kalimat-kalimat berikutnya terasa sekali yang bersangkutan mendiskreditkan (merendahkan) seseorang. Bagian yang paling tidak etis dari seorang penulis yang pernah dijamu petinggi negara.

Menurut saya, cukuplah bantahan ringan di atas menjadi pelajaran bagi kita semua. Hemat saya,”Penulis yang benar jangan dinilai dari bahasa tulisannya, tapi lihatlah kualitas kebenaran dari tulisan tersebut. Penulis yang baik tak hanya pandai mengolah kata, tapi mesti pandai juga mengolah rasa. Selanjutnya mesti pandai meramu fakta, jikalau kita menemukan sebuah tulisan di mana faktanya tak saling berhubungan, “kosong” atau bertentangan, segera tinggalkan dari pada kepala terasa dikepruk tongkat Musa!”

Salam mantan “Preman”.

Saya bukan ekonom,ahli teori njlimet atau penganut mazhab konspirasi. Saya hanyalah penulis amatiran yang terus belajar menggali data dan fakta dengan benar, tanpa terikat sponsor atau pesanan pihak tertentu. Wong artikelnya nggak hebat-hebat amat, siapa pula yang mau memanfaatkan saya dengan mengundang makan malam di istana  atau kandang kuda?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun