Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman MOS, 5 Alasan Kenapa Harus Dihentikan

30 Juli 2015   12:32 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:29 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki Tahun Ajaran baru, orang tua dan siswa umumnya diberi kesibukkan lain. Dari posisi orang tua, tak hanya sibuk menyiapkan biaya dan perlengkapan sekolah anak yang tiap tahun meninggi, tapi juga sibuk menyiapkan kebutuhan "aneh" anak-anak mereka pulang dari mengikuti MOS dari hari pertama hingga hari terkahir. Bayangkan, siswa baru diminta senior mereka di sekolah untuk mencari model radio zaman revolusi. Tema MOS hari kedua mungkin dikaitkan dengan suasana zaman penjajahan dulu. Orang tua pasti tak tega melihat anak mereka didera capek luar biasa. Mau tak mau mereka sendiri harus mencari radio itu ke pasar loak. Kalau nggak dapat terpaksa ngembat di musium. Benar-benar gila jika apa yang saya bayangkan ini terjadi.

Tapi sebenarnya, kasus "kegilaan" model di atas telah berlangsung sejak lama dan bermetamorpose dalam bentuk "kegilaan" yang lain. Terus berulang tiap awal tahun pelajaran sampai-sampai orang tua gelisah dibuatnya.

sedikti ceita, saya dulu di SMA pernah berantem dengan kakak kelas karena disuruh melakukan "kegilaan" dengan langkah tegap. Baris berbaris sendirian maksudnya.  Sebenarnya tak masalah karena dulu cita-cita pengen jadi TNI. Yang bikin emosi meningkat, saya tak boleh stop sebelum panitia bilang,"Hentiiii...grak!" Gila, di depan ada kolam tapi saya harus terus langkah tegap. Dengan menahan emosi saya terus mengikuti intruksi kakak kelas.  Bisa dibayangkan, pakaian seragam basah, baunya bikin emosi siap diledakkan. Pulang sekolah panitia MOS kurang ajar tadi saya hadang. Perang mulut terjadi. Bogem mentah saling layangkan. Suasana heboh. AKhirnya saya dipanggil kepala sekolah. Tidak dihukum tambahan, tapi di hari terakhir, saya dinyatakan tidak lulus penataran P4. Zaman saya dulu memang sertifikat lulus penataran P4 memang berkaitan erat dengan perpeloncoan tersebut. Nggak tahu zaman sekarang, karena saya tidak tertarik mengamati budaya pendidikan yang murahan ini.

Dari pengalaman heboh saat SMA dulu, sampai detik ini saya tidak pernah menganggap MOS itu kegiatan yang bermanfaat, walau secara umum unsur edukatif katanya akan lebih ditonjolkan. Saya nggak percaya. Dalam beberapa kasus, kejadian siswa baru yang dilecehkan, di-bully, mendapat kekerasan fisik, sakit hati dan sebaginya sering diulas media walau sekolah yang bersangkutan menerapkan unsur edukatif dalam pelaksanaannya. Hal ini terjadi karena selalu ada oknum dalam sebuah kegiatan. Walau petunjuk bagaimana menyelenggarakan MOS yang bermartabat sudah diberikan oleh sekolah, yang namanya ego remaja sangatlah sulit dijinakkan. Pelanggaran prosedur kerap terjadi tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

Beberapa tahun yang lalu saya pernah menemukan siswa perempuan setingkat SMP yang berjalan menahan malu karena ada karton didadanya yang berbunyi,"Saya Curang." kurang tahu duduk persoalnnya. Karton itu harus dipasang dari rumah sampai sekolah. Jika melanggar hukuman berat sudah menanti. Apa yang didapat dari perbuatan demikian? Tidak ada, kecuali menjatuhkan harkat dan martabat siswi tersebut.

Berkaca dari berbagai pengalaman yang bertebaran selama ini, secara pribadi saya sangat setuju jika MOS dilarang di semua tingkatan. Alasannya sederhana saja dan tak usah pake tiori njlimet.

1. MOS hanya mewariskan dendam antar generasi, senior dan yunior. Mereka yang menjadi korban MOS hari ini, terkadang ingin melampiaskannya pada siswa lain saat menjadi panitia kelak. Pengalaman saya, usai masuk kolam dulu, adik kandung senior tahun ajaran berikutnya juga saya suruh langkah tegap sampai masuk kolam. bedanya, tak ada kegiatan bogem-mentah, karena kebetulan yang menjadi korban adalah perempuan. Hehehe, jujur saya menyesal dan minta maaf setelah si korban nggak masuk MOS keesokan harinya.

2. MOS mengundang kekhawatiran orang tua. Hal ini lumrah. Orang tua tahu dan bahkan pernah mengalami sendiri  bagaimana nggak enaknya mengikuti MOS saat sekolah dulu.

3. MOS menguras anggaran ekonomi keluarga. Bagi siswa yang berada, tak masalah jika panitia minta menyiapkan ini atau itu. Tapi bagi siswa yang ekonominya belum beruntung, tentu hal ini menjadi beban, tak hanya bagi dirinya tapi juga bagi orang tua.

4. MOS sarat dengan pungli. Umumnya pungli ini dilakukan panitia atas arahan sekolah. Di sebuah PTS daerah saya, mahasiswa/i yang mengikuti MOS pernah di minta panitia untuk mengumpulkan maf plastik. Dan mafnya ternyata disatukan di koperasi, di jual kembali dengan harga sedikit lebih tinggi dari pasaran. Modus pungli terselubung ini sudah menjadi rahasia umum. Namun siapa yang berani teriak jika taruhannya adalah sertifikat MOS, yang harus dimiliki oleh mahasiswa sebagai syarat wisuda kelak? Gila, kan?

5. MOS Membudayakan pola anti sosial. Panitia MOS tidak pernah membedakan ekonomi yunior mereka. Tak peduli siapa yang kaya atau anak yang ekonominya belum beruntung, semua diperlakukan sama. Kalau intruksi wajib kumpulkan uang untuk beli kaos seragam sebelum menggelar kerja bakti di hari terakhir, yang tak punya tidak mendapat subsidi silang. Bukankah membudayakan  pola-pola anti sosial namanya?

Saya rasa cukuplah pengalaman dan 5 alasan tadi mendorong kita semua untuk menolak pelaksanaan MOS, ospek dan sebagainya di semua sekolah. Ganti saja kegiatn lain seperti gotong royong membersihkan kota atau lingkungan dengan melibatkan semua partisipasi semua siswa baru dan masyarakat. Asyik, kan melihat semua siswa baru dari berbagai tingkat menyatu dalam kegiatan sosial? Ini bisa merekatkan hubungan antar mereka dan setidaknya mengurangi potensi tawuran karena merasa lebih senior, sekolah lebih bermutu, lebih superior dan sebaginya. Kegiatan ini bia saja diakhiri dengan penanaman pohon bersam-sama di mana bibitnya disiapkan sendiri oleh Pak Anies Baswedan, maksud saya Mendikbud. Kalau pak Anies mana punya duit. Kalau merepotkan ya sekolah sendiri yang menyiapkan bibitnya, kecuali kalau pihak sekolah lebih menyukai budaya pungli dari pada memberi!

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun