Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Kurikulum Sepakbola Tim Transisi Bisa Seapes Kurtilas

12 Mei 2015   01:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:08 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_416840" align="aligncenter" width="630" caption="Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Imam Nahrawi menunjuk 3 walikota dalam tim transisi PSSI-nya (Kompas.com)"][/caption]

Pada era pemerintahan sebelumnya kita sempat dilenakan oleh kemunculan kurikulum 2013 (kurtilas) yang dianggap Mendiknas saat itu merupakan solusi untuk menjawab tantangan pendidikan ke depan. Mutu pendidikan seolah-olah akan bangkit pesat dengan kurikulum anyar tersebut. Tapi apa lacur. Dunia pendidikan malah bergerak ke arah kengawuran akibat penerapannya yang terburu-buru. Kurtilas akhirnya dinyatakan RIP secara terbatas oleh pemerintahan sekarang.

Penyebab hancurnya Kurtilas memang sudah diprediksi oleh banyak pengamat. Mayoritas tenaga pendidik jauh-jauh hari sudah mengeluhkan implementasi kurikulum tersebut yang dianggap terlalu super dan menggampangkan masalah. Inilah akibat menteri era sebelumnya enggan mendengarkan masukan dari berbagai pihak dan terlalu mengandalkan egonya mentang-mentang dia yang punya kuasa.

Kalau kasus ini kita pindahkan ke lapangan hijau pada era sekarang, Rip-nya Kurtilas bisa jadi akan terulang oleh Menpora jika kementeriannya yang sekarang ikut-ikutan mengandalkan ego “penguasanya”. Ego itu mulai terlihat ketika Menpora dulu ingin membentuk tim Sembilan, lalu pembekuan PSSI dan dilanjutkan pembentukan tim transisi tanpa melibatkan banyak pihak kecuali hanya mendengarkan masukan dan saran dari orang-orang di sekitar Menpora atau pihak-pihak yang sejak awal memang kontra dengan rezim PSSI sekarang. Boleh-boleh saja Menpora mengklaim mempunyai gagasan yang canggih untuk memajukan sepakbola dengan kurikulum buatannya. Namun kesan buru-buru layaknya Kurtilas tak bisa ditampik. Keengganan tim penyusun Kurtilas mendengarkan suara “lapis bawah” dalam hal ini adalah guru, adalah penyebab utama RIP-nya kurikulum tersebut. Dan keengganan Menpora mendengarkan suara suporter atau klub, akan menjadi sinyal yang kuat di mana gagasan cemerlang Menpora dengan tim penyusun kurikulum sepakbola-nya tak akan jauh beda dengan Kurtilas.

Tim Transisi yang ada sekarang, menurut hemat penulis, bisa jadi mengalami nasib yang sama apesnya dengan tim penyusun Kurtilas dahulu, di mana kurikulum yang mereka susun tak laku dikalangan pendidik dan akhirnya stop di tengah jalan. Nasib tim transisi Menpora dan kurikulum sepakbolanya juga tak akan beda jika arus bawah yang di maksud (klub), tetap bersikukuh dengan menolak keberadaan tim transisi dan kurikulum mereka. lho, kalau semua klub ogah bermain, lalu kurikulum sepakbola tadi siapa yang akan menjalankan? Pertanyaan inilah yang gagal dijawab menteri pendidikan era sebelumnya yang tetap memaksakan sebuah perubahan dengan mengabaikan penolakan dari mayoritas tenaga pendidik!

Tanda-tanda apesnya kurikulum sepakbola gagasan Menpora sebenarnya sudah terlihat beberapa jam terakhir. Beberapa orang anggota tim transisi menyatakan mundur dengan alasan usia dan kesibukan masing-masing. Sebuah penolakan halus. Dugaan Menpora agak gegabah mengambil keputusan dan ceroboh dalam “membaca visi” perubahan yang dibuat makin menguat. Menpora dianggap terburu-buru menerapkan kurikulum sepakbola layaknya Kurtilas tadi. Orang-orang yang diproyeksikan untuk menyusun kurikulum tersebut ternyata berkeberatan. Cerobohnya Menpora bisa dianggap kegagapan kementerian ini dalam menjalin komunikasi dan kordinasi dengan pihak-pihak tertentu.

Memang, sebelum nama-nama anggota tim transisi penggodok kurikulum ini diumumkan, Menpora atau utusannya mestinya harus menemui dulu nama-nama yang diproyeksikan tadi untuk diminta kesediaan. Bukannya langsung diumumkan bermodal tanda tangan plus stempel kementerian. Tak semua orang mau berkontribusi terhadap negara, jikalau prosenya dirasa terlalu mendadak atau dibuat gampang bermodalkan kekuasaan. Beberapa nama mungkin tak keberatan. Nama yang lainnya mungkin tak suka karena dicomot begitu saja tanpa berkordinasi.

Mirisnya lagi, salah satu nama anggota tim transisi yakni walikota Surakarta yang menyatakan bersedia masuk sebagai anggota tim, senyum awalnya kini menjadi hambar dipenghujung. Penyebabnya tak lain pembubaran klubPersis Solo oleh manajemen klib karena tak sanggup lagi menanggulangi beban operasional. Padahal sebagai walikota, beliau adalah pelindung klub yang berlaga di divisi utama tersebut.

Nah, kalau klub anggota tim transisi saja membubarkan diri, tak ada jaminan klub di daerah lain akan ikut langkah Menpora, kecuali Menpora mau mendengarkan keluh-kesah lapisan bawah seperti yang penulis maksud agar kurikulum sepakbola besutan Kemenpora nanti tak seapes nasib Kurtilas-nya Mendiknas dulu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun