Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Membungkam Demokrasi dengan Somasi

29 Januari 2014   17:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:20 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di masa orde baru dulu yang namanya somasi adalah sesuatu yang langka. Tak ada catatan sejarah presiden Soeharto melayangkan somasi dengan rakyatnya sendiri. Yang banyak adalah eksekusi langsung secara hukum terhadap orang-orang yang berusaha menggoyangkan kekuasaannya. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu korban kesewenang-wenangan zaman Soeharto. Sri Bintang dijebloskan ke penjara karena mengkritisi pemerintahan Soeharto saat menghadiri Hanoover Fair di Jerman tahun 1995. Selain Bintang tentu banyak lagi para aktifis vocal yang dijebloskan ke penjara dengan alasan yang berbeda.

Media juga banyak yang menjadi korban pemberangusan orde baru tanpa perlu pake somasi-somasi segala lewat kuasa hukum. Di ruang lingkup media majalah tempo menjadi korban yang paling anyar. Tak hanya sekali, dua kali majalah ini dibredel oleh penguasa orde baru. Pertama tahun 1982 karena Tempo terlalu kritis menyoroti pemilu. Kedua tahun 1994. Tempo lagi-lagi dibredel karena terlalu keras mempersoalkan pembelian kapal-kapal bekas dari Jerman Timur.

Contoh kasus di atas bagaimana otoriternya orde baru memberangus pihak mana saja yang berseberangan dengan mereka. tak perlu pake acara somasi-somasi dari kuasa hukum segala untuk melanggengkan kekuasaan yang selalu benar saat itu.

Tetapi zaman sekarang semuanya berubah. untuk membungkam mereka yang berseberangan dan kritis, pola-pola lama seperti penangkapan diluar prosedur hukum, pemberangusan media atau penculikan para aktifis seperti yang dituduhkan dulu tak lagi dipakai. Pemerintah cukup memakai sebuah kata yang hanya terdiri dari enam huru, tapi bila kita mendengarnya bahkan bila menerimanya secara langsung maka membuat semua bulu kuduk berdiri, yakni Somasi. Siapa yang tidak deg-degan menerima “surat cinta tapi benci” ini dari penguasa yang sekarang?

Efek kata ini memang hebat. Seseorang yang kritis berubah menjadi lembu. Media yang independen berubah menjadi inkonsisten. Mahasiswa yang bengal ketika demo tak mau lagi membawa fhoto seseorang dengan lembang monyet atau keledai. Itulah Sisi positifnya. Somasi dijadikan alat ampuh untuk menuntun seseorang agar bijak dalam berkata. Namun sisi negatifnya tak kalah membahayakan dalam hal demokrasi dan berekspresi.

Somasi seakan dijadikan alat membungkam kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluatkan pendapat. Apalagi jika somasi itu berasal dari sorang pemimpin sekelas presiden. Rakyat jadi takut berbicara. Akibatnya menjadi muak pada tatanan sistem yang dibangun. Media juga muak, tapi media cukup cerdas menyiasatinya. Dengan tidak meliput kesuskesan yang diklaim pemerintah, itu menjadi hukuman yang sangat setimpal. Jadilah rakyat memandang pemerintahan sekarang adalah gagal, terutama membangun demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun