Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Hari Pahlawan] Pahlawan Senja dan Tukang Parkir

10 November 2013   17:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:20 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_300785" align="aligncenter" width="546" caption="Sumber : nasional.kompas.com"][/caption]

Setiap hari Pak Tua itu duduk di kursi butut. Lengkap dengan baju veteran yang sudah kumal dan lusuh. Wajahnya kian hari semakin letih. Fisiknya yang renta tak mampu lagi menopang tubuh yang kian melemah. Entah sudah berapa usianya sekarang. Kata ayah, Pak Tua itu sudah dewasa saat ayah berusia sekitar tujuh tahun. Kalau kuhitung-hitung sekarang, usianya mungkin sudah mencapai 88 tahun.

Kata ayah juga. Dia salah seorang pahlawan senja yang tersisa di kota kami. Tahun kemarin dua orang yang menghuni rumah itu sudah berpulang. Aku tak tahu kenapa ayah menyebutnya pahlawan senja. Mungkin karena usianya semakin mendekati waktunya untuk bertemu sang khalik, atau karena ia bukan pahlawan yang sesungguhnya? Lalu kenapa namanya selalu disebut dan dipanggil untuk menerima penghargaan oleh pemerintah tiap kali peringatan hari pahlawan kalau begitu? Ah, tak mungkin. Bagiku ayah hanya bercanda.

Dan pagi yang mulai sibuk ini, dari lantai dua ruko kulihat Pak Tua itu sudah membuka pintu kantor verteran yang dijadikan tempat tinggalnya selama ini. Ia lalu menghampiri warung yang ada di samping gedung. Dengan mengembang senyum pemilik warung menyapa ramah. Ia dituntun duduk di bangku panjang. Lalu pemilik warung menyiapkan kopi dan sarapan pagi untuknya. Pak Tua itu menyuap dengan tangan bergetar. Usai sarapan pagi, Pak Tua itu mengucapkan terima kasih disambut anggukan ramah pemilik warung. Ia kembali dengan langkah pelan menuju kursi butut dan menghabiskan setengah harinya di sana. Kalau sudah terasa lapar, ia kembali menghampiri warung, setelah itu kembali ke sana.

Begitulah keseharian Pak Tua itu. Tidur, membuka pintu, meminta makanan, menyapu halaman, duduk di kursi butut, menutup pintu dan tidur kembali. Beruntunglah pemilik warung itu sangat menghargainya. Apapun kebutuhan Pak Tua itu dipenuhi. Terkadang tiga atau empat hari sekali anak pemilik warung memberesi rumah Pak Tua. Paling ia mengcek air di kamar mandi dan membersihkan ruangan atau kamar tidur Pak Tua yang berantakan. Sedangkan soal baju, anak pemilik warung tak direpotkan karena Pak Tua itu hanya punya lima stel pakaian pejuang yang selalu dipakainya bergantian.

Seperti pagi ini, dari lantai dua ruko kulihat anak pemilik warung sudah membawa pakaian Pak Tua yang kotor untuk dicuci. Sementara Pak Tua sendiri menyapu halaman. Sapu lidinya diayun oleh tangannya yang terlihat semakin lemah. Sempat ia ingin memunguti puntung rokok di dekat tukang parkir yang sedang ngobrol dengan temannya. Tapi ia dibentak dengan kasar. Dengan segala kelemahannya Pak Tua itu mundur kebelakang.

Banyak yang tidak senang mendengar bentakan tukang parkir tadi. Termasuk Pak Giran, penjual rokok yang mencari nafkah di emperan toko bangunan. Ia sempat mengeleng-gelengkan kepala, tapi tukang parkir itu merasa kurang senang seakan Pak Giran melecehkannya. Ia menghampiri Pak Giran dan mengomelinya. Pak Giran diam oleh takut. Ia tahu tukang parkir tadi preman yang sangat disegani. Tak segan-segan memukul orang kalau tersinggung. Sebelum berlalu, seenaknya tukang parkir itu mengambil beberapa batang rokok milik Pak Giran. Ia sempat menendang sapu lidi Pak Tua yang dianggap menghalangi langkahnya.

Kelakuan yang sangat memuakan. Aku dan Ayah yang melihatnya dari lantai dua hanya geleng-geleng kepala. Tapi apa daya, aku hanya menyandarkan sesuatu pada perasaan. Aku tak punya kekuatan untuk memukul tukang parkir yang sering berbuat ulah dan semena-mena itu. Paling aku melawannya dengan muka masam tiap kali mereka menyapa atau menggodaku. Apalagi yang bisa dilakukan oleh remaja perempuan sepertiku?

Sedangkan ayahku juga tak mau ikut campur. Pernah ruko kami diserbu tukang parkir dan gerombolannya karena ayah melawan saat mereka datang memeras. Untunglah keluarga besar kami turun tangan dan menghalaunya. Keributan berhasil dilerai. Keluarga besar kami meminta agar mereka tak saling ganggu atau ‘perang’ tak bisa dielakkan. Ciut juga akhirnya mereka.

Brak!

Suara keras terdengar. Aku dan ayah dari lantai dua melihat tukang parkir tadi menendang bangku panjang pemilik warung.

“Sabar, Bang. Air panasnya belum matang.” Pemilik warung makanan bicara gemetaran.

“Kalau belum siap jangan dibuka ini warung!” tukang parkir itu mengomel. Ia mengambil gorengan dan memakannya tanpa peduli pada mata-mata yang memandang, termasuk Pak Tua itu yang berusaha mengamatinya sambil mendekat.

“lihat apa Pak Tua bau cacing? Mau ini?” tukang parkir mengacungkan tinju.

“Ini, Bang.” Pemilik warung menyajikan teh pesanan setelah itu menuntun Pak Tua kembali ke kursi bututnya. Mereka terlihat bincang-bincang sejenak. Pemilik warung terpaksa bicara dengan agak keras ditelinga Pak Tua yang mendengarnya manggut-manggut.

Setelah ditinggal pemiik warung, Pak Tua itu kembali ke dalam. Ya ampun, setelah keluar ia membawa senapan dan menghampiri tukang parkir yang sedang menyeruput kopinya. Semua orang berteriak, kaget dan cemas. Tanpa basa-basi, tangan renta Pak Tua itu menodongkan senjata pada tukang parkir yang tertegun seketika.

Dor! Peluru Pak Tua mengenai dada tukang parkir yang membuatnya terjengkang.

Warga histeris.

Dor! Peluru kedua kembali menghujani tubuh tukang parkir yang mengerang. Peluru ketiga urung dilesakkan karena Pak Tua itu keburu dibekuk oleh Pak Giran dan warga. Pak Tua itu merontak dengan tenaga tersisa. Kemudian tubuhnya menegang dan ia terkulai tak sadarkan diri. Warga berebutan membopong Pak Tua untuk membawanya ke rumah sakit. Satupun tak ada yang peduli dengan tukang parkir yang tergeletak meregang nyawa. Ayah juga tak ingin ikut campur.

Satu jam kemudian, barulah tubuh tukang parkir tadi diangkut teman-temannya. Tak ada mobil yang bersedia membawanya kerumah sakit. Terpaksa tubuh tukang parkir yang sekarat itu dibawa dengan kendaraan roda dua.

Beberapa saat kemudian kami mendapat kabar, tukang parkir itu sudah ‘parkir’ diharibaan Tuhannya, ia tewas mengenaskan. Sedangkan Pak Tua tadi juga meninggal dengan damai.

“Ia sudah menjemput gelarnya sendiri. Gelar pahlawan yang sejak lama diimpikannya,”cerita ayahku menjelang sore, saat kami berdiri di lantai dua ruko sambil memperhatikan warga yang ngerumpi membicarakan kejadian pagi tadi.

Barulah aku tahu, ternyata Pak Tua itu selama ini tak pantas disebut veteran pejuang. Dia adalah penghianat yang pernah membocorkan persembunyian teman-temannya. Cerita itu didapat ayah dari kakekku. Namun kakek tak pernah mengungkapnya karena tak ingin keselamatan keluarganya terancam. Keluarga pak tua sendiri dikenal keluarga kalap. Mereka tak taat pada nilai-nilai tradisi dan agama. sifat penghianat itulah yang diturunkan oleh pak tua pada anak-cucunya. Banyak diantara anak cucunya tadi yang tewas diujung pisau dan senapan.

Mungkin itu juga yang membuat Pak Tua linglung dan menyesali diri. Ia pernah mengatakan itu pada kakek dulu. Ia sangat menyesal. Ia berjanji akan mengenang teman-teman perjuangannya dengan baju lusuh peninggalan mereka. Ia berjanji melunasi kesalahan itu suatu hari nanti.

Dan Pak Tua sudah memenuhi janjinya pagi tadi disaat usia pahlawannya  sudah berada di ujung senja.

Selamat jalan Pak Tua. Dengan keberanianmu yang tersisa dan tidak pantas di mata orang, kau telah mengusir salah satu penjajah yang berasal dari bangsamu sendiri, tukang parkir iyang sering memeras dan memukul orang tanpa belas kasihan itu. Semoga menjadi hikmah bagi ‘penjajah’ lainnya dan diriku.

NB: Untuk membaca Karya peserta lain silahkan klik di Sini Silahkan Bergabung juga  di group FB Fiksiana Community

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun