Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Perbedaan Pendapat dalam Beragama

27 Desember 2013   14:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:26 1395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan pendapat adalah hal biasa selama diniatkan untuk mencari kebenaran bukan mencari 'pembenaran'. Hal yang sering terjadi justeru kita lebih sering mencari 'pembenaran' dengan memvonis sesuatu tanpa mengajukan fakta sebagai penguat pandangan kita. Perbedaan pendapat seperti ini seringkali menimbulkan perlawanan dari pihak lain karena lebih mendahulukan vonis dari pada fakta. Parahnya lagi setelah mendapat kecaman sana-sini, kita malah menuntut argumen balik dari orang lain padahal kita sendiri tidak mengawalinya dengan argumen yang valid. Perilaku seperti ini tak ubahnya seorang polisi yang menyeret seorang ibu hamil 8 bulan ke penjara dan ketika si ibu melawan mati-matian malah si polisi balik bertanya, “ Pokoknya anda ditangkap karena menelan helm.”

Berbeda pendapat adalah kemestian, tetapi asal beda adalah kejahilan.

Menyangkut perbedaan pendapat dalam isyu beragama, kalau kita mau menoleh kebelakang, Orang-orang terdahulu dengan keluasan ilmunya sudah memberikan pijakan jelas sebelum menentukan vonis suatu perbuatan. Maka sudah selayaknya jika dalam mengajukan suatu pendapat atau argumen kita mengutip pandangan mereka dan memperkayanya dengan penafsiran menurut kemampuan kita sendiri.

Dalam memperkaya rujukan tadi memang sedapat mungkin dihindari pandangan yang bias dan tidak memiliki dasar yang jelas. Lain halnya jika kemampuan kita secara akademik setara atau melebihi dari pendapat yang kita kutip tadi. Dengan keluasan ilmu agama yang dimaksud, barulah kita dibebaskan untuk melontarkan suatu pandangan. Tetapi jika pengetahuan yang kita miliki hanya secuil pemahaman dari mereka yang kita rujuk, maka sudah selayaknya kita menghindari prinsip “asal beda” dan menahan diri untuk mempertontonkan kejahilan.

Belajar Dari Kasus "Selamat Natal"

Contoh kasus “asal beda” dapat kita temukan pada perdebatan berulang tiap tahun menyangkut boleh tidaknya seorang muslim mengucapkan selamat natal pada saudara atau kenalan mereka yang beragama Nasrani. Dalam kasus ini ada dua pendapat yang sama-sama memiliki alasan yang kuat. Pendapat pertama diwakili oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz yang tegas mengatakan mengucapkan selamat natal tadi hukumya haram karena dianggap tasyabbuh (menyerupai) perbuatan mereka dan menyepelekan aqidah.

Pendapat kedua diwakili oleh ulama kontemporer kelahiran Qatar yang juga menjadi ketua persatuan ulama se-dunia yakni Syeikh Yusuf al Qaradhawi. Dengan keluasan ilmunya Yusuf al Qaradhawi berani mengkoreksi pendapat pendahulunya tadi dengan membolehkan seorang muslim mengucapkan selamat natal pada Nasrani apabila apabila mereka (orang-orang Nasrani atau non muslim lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (non muslim) dengan seorang muslim, seperti : kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan lainnya.

Dalam hal ini Yusuf al Qaradhawi menggunakan dua hujjah sekaligus. Yang pertama, perubahan kondisi global dimana umat Islam adalah bagian dari warga dunia yang majemuk. Yang kedua berdasarkan penafsirannya terhadap Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah ayat 8 yang memerintahkan kita berbuat adil karena Allah menyukai perbuatan tersebut. Dimata Yusuf al Qaradhawi, kenapa kita tidak dibolehkan mengucapkan selamat Natal pada mereka  sementara kita sendiri tidak melarang mereka mengucapkan selamat Idul fitri pada kita? Bukanlah Allah menyuruh kita berbuat adil dan membalas penghormatan dari orang lain dengan cara yang lebih baik sebagaimana tersurat dalam An Nissaa ayat 86?

Pendapat Yusuf al Qaradhawi memang berbeda dengan zamannya. Namun bila kita simak tentu pendapat tersebut juga cukup kuat dan jelas karena memiliki dasar yang kuat.

Dari kedua pendapat di atas kita kemudian diberi keleluasaan untuk memilih dan memilah mana yang lebih membuat kita nyaman. Jika saya kemudian memilih pendapat yang kedua dalam kasus ini, anda yang memilih pendapat pertama tetap menjadi manusia terhormat selama anda menghormati pilihan mereka yang berbeda dengan anda.

Tetapi jika ada yangmempertentangkan kedua pendapat tadi dan memiliki pendapat terbaru, maka sah-sah saja mengadopsi pandangan baru tersebut selama orang yang diikuti tadi tingkat keilmuannya sama atau bahkan melebihi keluasan ilmu dari pendahulunya. Tetapi jika lebih rendah dari itu, sudah selayaknya kita tidak sembarangan melontarkan suatu pendapat yang jahil dalam beragama.

Pendapat ahli menjadi rujukan, pendapat jahil mesti ditolak

Namun yang sering terjadi pada masa sekarang, seseorang cenderung menghukumi suatu perbuatan tersebut halal atau haram, seperti kasus natal tadi, dengan menggunakan akal pikiran sendiri tanpa mau mengutip argumen dua pihak yang berseberangan di atas. Perbedaan pendapat tanpa bersandar pada ahlinya ini sering menimbulkan fitnah dan perpecahan karena memperturutkan hawa nafsu dan tidak menyadari sempitnya ilmu yang dimiliki.

Contoh pentingnya kita mengikuti pandangan ahlinya dalam suatu persoalan dapat kita temukan saat hakim ingin memutuskan perkara-perkara pelik di pengadilan. Tak jarang seorang hakim menghadirkan saksi ahli dalam kasus-kasus tertentu. Akan sangat berbahaya bagi si hakim menjatuhkan vonis, katakanlah penginaan terhadap suatu agama, sedangkan hakim sendiri tidak mengetahui batasan-batasannya. Kehadiran saksi ahli inilah yang membuat keputusan seorang hakim dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Karena itu sangat keliru kalau seorang awam mengajak debat ahli agama yang luas ilmunya menyangkut ketuhahan. Lebih lucu lagi jika yang memperdebatkan suatu agama tadi justeru berasal dari pemeluk agama lain. Sudah semestinya pendapat mereka ini, ibarat di pengadilan tadi, tertolak dengan sendirinya karena termasuk bukan ahlinya. Bahkan hakim mustahil juga menghadirkannya sebagai saksi ahli.

Perbedaan yang mengandung pencerahan dan mengundang perpecahan

Terakhir dalam artikel ini, saya sependapat dinamika perbedaan dalam hal apa saja mesti dihargai dan dijunjung tinggi. Kita boleh beda dan berdebat soal pilihan partai,gubernur, capres dan sebagainya. Semua punya hak untuk menyuarakan pilihan secara bebas dan bertanggungjawab. Tetapi Jika sudah menyangkut perkara akhirat (agama) sudah selayaknya kita membatasi diri dan berhati-hati dalam melontarkan suatu pendapat. Apalagi menulis di dunia maya. Salah sedikit pandangan yang tak lazim bukannya mengundang pencerahan bagi orang lain tetapi justeru mengundang perpecahan bagi semua orang. Apakah sudah kehabisan bahan? Apapun motifnya jelas sangat gegabah.

Dalam bahasa sederhana saya ungkapkan; Jika menulis sepak terjang seorang pejabat korup dapat memberikan pencerahan bagi orang lain, mengapa kita memaksakan diri menulis tentang keyakinan yang dapat melahirkan permusuhan dan perpecahan? Jika sesama teman seagama saja kita berbeda dalam menyikapi sesuatu dan siap saling tinju, mengapa kita mesti menulis tentang kelemahan agama dan kepercayaan orang lain sementara PR dirumah kita sendiri belum dapat diselesaikan? Jika pelangi itu indah dan kita menyukai sebuah warna, mengapa kita menyalahkan warna orang lain disaat warna yang kita miliki memudar?

Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun