Tahun ini identik dengan tahun begal. Ada “Begal jalanan” yang merampok kendaraan orang lain berbekal sebilah samurai atau senpi rakitan. Perilakunya sangat sadis. Yang tidak melawan saja dibacok atau ditembak, apalagi kalau coba-coba berteriak sambil pasang jurus “Boboi Boy Halilintar”, pastiah langsung ditebas atau dieksekusi oleh mereka. Fenomena begal jalanan ini lalu melahirkan Begal ala baru.
Mereka yang resah dengan ulah mereka, tanpa harus mengadakan kongres Bali atau Ancol, lalu kompak membuat “Begal jalanan tandingan”. Kata-kata “maaf” dan “ampunan” disimpan. Atau sudah habis? Lalu tanpa kenal ampun para begal tandingan ini mulai main sikat, main bogem dan main bakar terhadap orang-orang yang terdeteksi sebagai begal jalanan. Amarah diluapkan. Keseimbangan baru terjadi. Korban begal jalanan berjatuhan diimbangi oleh para tersangka yang juga bertumbangan oleh timah panas petugas atau senjata tradisional massa Begal jalanan tandingan yang menumpahkan amarah. Mengerikan sekaligus memprihatinkan.
Namun yang tak kalah membuat kita bergidik, ternyata tahun ini juga melahirkan begal yang lain. Orang bilang sebutan bakunya “Dana Siluman” tetapi saya lebih suka menyebutnya “Begal Anggaran”. Konon pelakunya melibatkan dua pihak sekaligus, lembaga Yudikatif dan Eksekutif. Namun keduanya sama-sama mengaku benar dan menuding yang lain bohong. Padahal keduanya menurut saya sama-sama khilaf dan sama-sama curang, kecuali pengadilan sudah membuktikan kalau salah satunya curang dan yang lain dicurangi. Tapi faktanya belum, kan? Lalu buat apa satu dari mereka dipuja-puji?
Yang tak kalah heboh tentu adanya “Begal Hukum”. Pemain utamanya mereka yang mengaku penegak hukum. Bingung menentukan siapa protagonis dan antagonis di antara mereka yang berseteru. KPK-kah protagonis itu? Atau Institusi Polri?
Memang sebaiknya untuk menentukan siapa protagonis dan antagonis, kita harus belajar dan bertanya pada Hakim Sarpin dan Menkumham. Sayangnya Hakim Sarpin kabarnya menolak panggilan Komisi Yudisial sehingga kita tidak tahu apakah istilah “begal Hukum” itu menyalahi UU atau tidak. Padahal jika diangap melanggar, kita bisa minta praperadilan pada Hakim Sarpin untuk menetapkan istilah yang lebih sesuai.
Okelah, Hakim Sarpin sedang ngambek dan jangan diganggu. Kita minta saja pendapat Menkumham apakah “Begal Hukum” sudah lahir di negeri ini. Jika jawabannya “Tidak”, ajukan pertanyaan kedua, Kenapa bapak Menkumham tidak mengesahkan PPP SDA padahal sudah sesuai dengan hasil sidang mahkamah partai tersebut, sebaliknya mengesahkan Golkar Ancol yang tidak sesuai dengan ketetapan Mahkamah Partai tersebut? Kalau Menkumham enggan menjawabnya, anggap saja beliau sedang dilanda kebingungan mengingat negara ini mulai dari pucuk hingga bawah nampaknya sudah terjangkit “Begal Moral”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H