Beberapa bulan ke depan sebelum dilantiknya Jokowi-JK sebagai presiden dan wapres terpilih versi real count KPU, mudah-mudahan juga “diamini” oleh MK agar ongkos sosial pasca pilpres tidak menunggu, masyarakat kini dihadapkan berbagai pilihan menyangkut siapa dan sosok seperti apa yang layak memperkuat kabinet “Drone” Jokowi. Saya katakan begitu mengingat masalah kabinet ini sudah menjadi pembicaraan di warung-warung sate dan warung-warung Tegal lainnya, lengkap dengan argumen pengamat, baik pengamat terdidik maupun pengamat terduduk alias pengamat dadakan ala kaki lima. Tak boleh dilupakan juga hasil terawangan paranormnal berdasarkan pantauan “Drone” mereka yang bersumber dari langit.
Dalam tulisan ini sengaja saya fokus dalam dunia pendidikan menyangkut figur mana yang cocok menduduki jabatan menteri pendidikan dan kebudayaan nantinya. Memang saat ini sudah beredar beberapa nama di tengah publik yang dianggap layak menduduki departemen “basah” tersebut.
Namun dalam tulisan ini Saya tidak akan menyinggung nama-nama yang “dijagokan” tersebut. Belum tentu menurut saya mereka “jago”beneran. Bisa jadi “jago” abal-abal layaknya “Sri Gunung”. Indah dan top markotop di depan mata, nyatanya setelah didaki sarat belerang yang menebar bau busuk menyengat. Dan tentu sosok yang menyimpan “bau” ini tidak kita harapkan bersama agar visi dan misi Jokowi dalam bidang pendidikan, suka tidak suka, tepat pada sasarannya.
Bagi saya, memberikan nama sama saja mempromosikan seseorang berdasarkan pertimbangan yang kadangkala bias dan kurang objektif. Makanya dalam kesempatan kali ini saya lebih suka memberikan kriteria sederhana saja dari pada menyebut nama seseorang yang dapur rumahnya sama sekali tidak saya kenali perkakasnya.
Lalu seperti apa mendikbud ideal menurut pandangan saya yang sok pinter tadi?
Gampang.
Pertama, mendikbud Jokowi nantinya benar-benar berasal dari kalangan profesional murni. Bukan profesional yang terjebak dalam dunia politik, terlebih lagi jika profesional yang dimaksud menjadi bagian dari timses salah satu kubu, baik kubu pendukung koalisi kerakyatan maupun kubu koalisi merah putih.
Pandangan saya sederhana, mereka yang sudah nyemplung dikancah politik pasti mempunyai “syahwat tak terduga” dan punya kecenderungan menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok masing-masing. Bukankah tipikal orang politik hanyalah kepentingan demi kepentingan? Kalau dunia pendidikan dimasuki orang=orang seperti ini, saya khawatir Jokowi mengalami “kepentungan” dalam karirnya alias sial karena salah menempatkan orang.
Bak pandangan pengamat sok keren, profesional murni yang saya maksud adalah sosok yang benar-benar peduli pada dunia pendidikan, berintegritas, dan tidak memiliki syahwat politik yang berorientasi pada kekuasaan. Sangat disayangkan jika dunia pendidikan di isi oleh pimpinan yang doyan berpolitik praktis.
Kedua, Mendikbud pilihan Jokowi hendaknya manusia yang konsisten, menghargai keragaman dan kearifan lokal, tumbuh dan besar dalam dunia pendidikan, memiliki prestasi yang terukur, tidak mencla-mencle, kaya gagasan untuk kemaslahatan bukan untuk karir dan kekuasaan. Dan yang paling penting tentunya tidak sering main rombak kurikulum seenaknya. Misalnya, jika Kurikulum lama tidak jalan, ngapain juga punya gagasan bikin kurikulum baru? Kata Mantan PM Malaysia Mahatir Mohammad, jangan ganti kuda saat sedang berpacu. Intinya bikin repot bin telat mikir. Kurikulum lama seperempat jalan malah bikin kurikulum baru setengah jadi. Repot mas bro.
Lalu siapa figur ideal yang sesuai dengan kriteria sederhana tadi? Terserah siapa. Yang penting Mendikbud Jokowi nantinya bersih dari orang-orang yang memiliki syahwat berpolitik tingkat tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H