Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghadapi Masalah, antara Menyelesaikan dan Memecahkan

2 Desember 2014   21:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:13 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_379992" align="aligncenter" width="500" caption="Bertengkar (Shutterstock)"][/caption]

Jangan pernah menganggap ketika kita sudah menyelesaikan suatu masalah maka semuanya dianggap beres. Belum tentu. Hari ini selesai, besok bisa jadi masalah yang sama terulang kembali bila tak ada pemecahan. Ambil contoh anak sekolah yang berkelahi di kelas. Cukup dengan ancaman tidak naik kelas atau orang tua dipanggil, bahkan bila perlu dikeluarkan dari sekolah, maka nyali mereka menciut dan mau berjabat tangan kembali. Tetapi  penyebab perkelahian terus harus dipelajari untuk dipecahkan.

Memecahkan masalah memang mengandung arti menyelesaikan, tetapi menyelesaikan tanpa memecahkan akar masalah hanya menunda datangnya masalah yang lain. Anak yang berkelahi tadi mungkin sudah berjabat tangan di sekolah, namun jika akar permasalahan tidak dipecahkan, perkelahian lanjutan dapat saja terjadi di luar sana. Sisi emosionilnya tetap akan terbawa hingga ke rumah hingga dapat memicu persoalan  baru ketika hal itu "diledakkan".

Secara umum, memang menyelesaikan dapat diartikan memutuskan. “kamu salah, kamu benar.” Namun memecahkan selain bersifat menyelesaikan, maka dia dapat memberi jawaban,”Kenapa kamu salah dan dia benar.” Karena itu menyelesaikan suatu masalah tanpa memecahkan sama saja dengan menggampangkan masalah. Hari ini selesai, esok hari ia datang kembali karena "penyebab bawaannya"  belum divaksinasi.

Masalahnya hari ini,  kebanyakan dari kita, termasuk diri pribadi penulis, mungkin tergolong  orang yang pandai menyelesaikan masalah, namun tak sanggup memecahkannya.  Kita anti terhadap segala sesuatu berbau KKN. Untuk menyelesaikannya mungkin melakukan pencopotan atas suatu jabatan dan langkah offensif lainnya.  Namun hal itu tidak akan mengurangi perilaku KKN selama kita tak mampu memecahkan akar masalahnya. Apakah perilaku ini berkaitan dengan kesejahteraan yang kurang? Pengawasan yang lemah atau sistem korup yang membudaya akibatnya lemah dan multitafsirnya sebuah UU?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang mestinya harus dipecahkan, bukan diselesaikan dengan sebuah tindakan sesaat. Tanpa kita mau mencari pemecahan terhadap semua masalah baik dalam lingkup pribadi, bisnis atau bahkan politik, penyelesaiaan masalah yang kita lakukan sebenarnya hanya menunda masalah yang lain.

Jika kita mengikuti  prinsip Pegadaian,”Menyelesaikan masalah tanpa masalah.”, percayalah, prinsip itu kurang baik untuk diterapkan saat ini. Kesannya hanya menggampangkan masalah. Habis uang, gadai barang. Lama-lama semuanya habis tergadai. Bagaimana kalau kita ganti saja dengan prinsip,”Memecahkan Masalah Tanpa Masalah?”

Prinsip terakhir ini menurut saya lebih masuk akal. Mudah-mudahan dengan prinsip tersebut, semua masalah akan berkurang karena penyebabnya sudah diketahui. Sekali ia muncul maka cepat terdeteksi dan langsung  “di-polycarpus-kan”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun