Pernyataan mantan menteri kelautan dan perikanan Freddy Numberi yang memuji ketegasan pemerintahan Jokowi dalam menyikapi ilegal fishing layak dikritisi. Bagi saya sebagai seorang mantan menteri yang pernah menduduki departemen yang sama dalam pemerintahan sebelumnya tak layak mengumbar kelemahan atasannya seakan atasannya seorang peragu atau takut berlebihan, dan sebaliknya memuji pihak lain yang berkuasa saat ini dengan alasan tertentu. Pernyataan tersebut sesungguhnya akan berefek negatif pada yang berbicara.
Ambil contoh ketika Freddy mengakui dia berniat akan membakar kapal Vietnam dan SBY menegurnya, kenapa saat itu Freddy tak memposisikan dirinya sebagai seorang yang berani dan tidak mengenal rasa takut? Pastinya jika saya seorang menteri maka saya tidak perlu minta pendapat atasan untuk menindak para pelaku ilegal fishing karena merasa bertanggungjawab tehadap keberhasilan departemen yang saya pimpin.
Kalau saya tidak melakukan pembakaran itu, artinya saya sama peragu dan pengecutnya dengan atasan saya. Dikaitkan dengan kasus pak Freddy, jika Presiden dianggap takut menganggu hubungan baiknya dengan Vietnam, berarti saya takut kehilangan jabatan dalam menegakkan martabat bangsa. Lalu siapa yang cocok mendapat label peragu dan takut berlebihan? SBY dengan hubungan baiknya atau Freddy dengan jabatannya?
Jatuh vonisnya ya sama saja. Keduanya peragu dan mengidap rasa takut berlebihan dalam menjaga kekayaan nasional. SBY tak ingin terusik hubungannya dengan negara tetangga. Menteri takut diusik jabatannya jika tak manut pada atasan. Jadi tak perlu saling menyalahkan. Biarkan rakyat yan menilai secara objektif, bukan mengelak untuk menaruh simpati atau sekedar mencari pembenaran atas kelalaian selama menjabat. Kalau penenggelaman kapal dulu memang tak memungkinkan untuk dilakukan pada contoh kasus ini, ya menterinya harus kreatif mencari cara misalnya melakukan denda atau menyita kapal tersebut untuk menutupi kerugian negara yang di maksud. Kalau pernyataan hanya “akan dan akan” maka pernyataan tersebut tak berguna sama sekali. Kita butuh bukti, contoh dan keteladanan. Bukan “akan dan akan” saja.
Saya berharap mantan menteri era SBY tak perlu koar-koar merasa telah berbuat yang terbaik untuk bangsa. Toh kekayaan alam kita selama ini terus dikeruk orang tanpa memberi sumbangan berarti pada negara atau masyarakat sekitar. Padahal SDA masyarakat setempat terus dikuras dan kesannya menjadi bahan bancakan. Ini salah kita semua. Salah presiden karena dianggap peragu. Salah si menteri karena kurang inovatif. Salah rakyat juga yang hanya koar-koar setelah pemerintah tak lagi berkuasa dan merasa enggan mengkritisi karena suatu sebab.
Di era perubahan menuju ke arah yang lebih baik ini, sudah saatnya budaya kritik konstruktif pada pemerintah dikembangkan. Termasuk pada kabinet kerja sekarang. Tak masalah kita kritisi kebijakannya. Itu lebih baik dari pada mereka selalu merasa benar, namun setelah menjadi mantan menteri malah kelak berusaha melakukan pembenaran atas semua kelalaiannya selama menjabat.
Itulah yang disebut ilmu “Ngawurulogi”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H