Rencana menteri BUMN menjual gedung mereka demi efisensi dan alasan lainnya ramai dikecam orang banyak, termasuk kecaman tajam datang dari Fadli Zon, salah satu politisi muda senayan yang bersikap “oposan” pada pemerintahan sekarang. Fadli berani menyebut langkah menteri BUMN itu masuk ketegori ngawur. Inefisiensi gedung BUMN menurut Fadli bias diselesaikan dengan cara kreatif. Misalnya memanfaatkan lantai-lantai kosong untuk ditempati karyawan-karyawan BUMN lain yang belum memiliki kantor atau ruang kerja. Atau menyewakan pada pihak lain yang memerlukan.(sumber)
Yup, saya sangat sepakat dengan fadli. Banyak cara untuk mengatasi inefisiensi sebuah lahan atau gedung. Lahan kosong bisa diberdayakan untuk lapangan futsal tanpa harus dijual. Penuhi saja fasilitasnya. Di jamin banyak penggemar olahraga yang akan memanfaatkannya walau harus membayar untuk bermain. Gedung yang tak terpakai juga bisa disewakan atau dijadikan asrama khusus bagi pegawai BUMN yang sedang magang atau mengikuti pelatihan, seminar dan lain-lain. Itu lebih berdaya guna daripada dijual. Atau seluruh direksi BUMN yang ada di Jakarta wajib tinggal di gedung BUMN yang diubah bentuk seperti apartemen. Hanya lantai satu dan dua saja yang dijadikan sebagai kantor. Itu lebih sip lagi sepertinya. Tapi kalau dijual?
Dulu kita jual Indosat dengan harga terjangkau si pembeli. Sekarang di saat kita sangat butuh Indosat, maka kita akan ditawari harga yang tak terjangkau. Di mana-mana saja terjadi seperti itu. Kita selalu menyesali diri setelah menjual sesuatu yang sangat berguna. Jual motor saat kepepet tentu dengan harga murah. Namun kita mesti merogoh kocek lebih dalam untuk memiliki barang yang berkualitas sama.
Jual pesawat kepresidenan atau gedung BUMN dengan alasan inefisiensi, nanti ketika bertemu masanya, kita mesti memiliki gedung BUMN yang kapasitasnya sama atau lebih dari itu. Sekali lagi, Negara akan mengeluarkan anggaran yang lumayan besar untuk memenuhi itu. Kalau hari ini sudah tersedia, bukankah langkah paling ideal adalah mempertahankannya?
Jadi ingat tetangga dulu. Harta berlimpah. Kontrakan banyak. Anak Cuma satu. Semua kontrakan di jual. Jadilah emas. Rumah terbakar. Harta benda ludes termasuk kiloan emas. Apalagi yang tersisa untuk si anak selain penyesalan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H