Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jurnalistik Digital Seperti Mata Pisau

11 Januari 2015   08:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:23 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, ketika era digital belum berkembang seperti sekarang, para jurnalis mesti turun kelapangan untuk menggali informasi sebelum terbit dalam suatu pemberitaan. Sungguh perjuangan yang berat dan payah karena tidak semua sumber mau menyuarakan pendapat mereka. Segala cara terkadang terpaksa ditempuh sang jurnalis, mulai dari jaminan tidak akan membocorkan identitas nara sumber, popularitas yang bakal diraih atau memberikan imbalan dalam bentuk uang agar narasumber mau bicara.

Sekarang semuanya sudah berubah. Dalam beberapa kasus atau kejadian, jurnalis merasa tidak perlu turun kelapangan. Mereka cukup mengutip atau mencomot pemberitaan dari media lain atau menjadikan media sosial (FB atau Twitter)  sebagai bahan pemberitaan mereka. Kasus anak sekolah yang dituduh mendoakan hal terburuk saat jatuhnya AirAsia merupakan contoh tepat bagimana seorang jurnalis lenih menjadikan sebuah status tulisan seseorang dari pada fakta yang sebenarnya, yakni si anak merasa tak pernah menulsikan kata-kata tersebut. Caci maki harus diterima dari yang bersangkutan dan sekali lagi, jurnalistik digital telah menjadi pisau dimana korbannya adalah “azas praduga  tak bersalah” yang mestinya ada dalam diri anak tersebut.

Kasus lainnya yang tak kalah ramai adalah kebiasaan seseorang mengutip, mencomot, mencatut status atau komentar seseorang di media sosial dalam bentuk scrennshot untuk dijadikan opini dalam sebuah artikel. Masih untung jika dimaksudkan sebagai bahan pembelajaran bersama dengan manfaat terukur, tapi kalau bermaksud untuk mendiskreditkan atau menjatuhkan seseorang, maka lain lagi ceritanya.

Di negara lebih bebas seperti Amerika Serikat sendiri, perbuatan mengutip dan seterusnya ini diatur dalam UU kesusilaan pasal 230. Tak sembarang orang atau lembaga boleh dan asal kutip. Contohnya, jika seseorang/lembaga me-retweet sebuah pernyataan finah tanpa penambahan, maka dia memang bisa terhindar dari jeratan hukum. Namun jika dia menambahi pernyataan fitnah dengan sejumlah opini atau komentar ringan seolah-olah bagian dari retweet tadi, maka dia otomatis terkena sanksi UU yang dimaksud. Kita belum tahu, apakah dalam UU ITE  kita sudah mencantumkan hal ini? Atau pemerintah kita menganggap perbuatan tersebut hanya soal netiket saja?

Memang seyogyanya media, teruatama diri kita, untuk menahan  diri dari kebiasaan mengutip, mencomot dan seterusnya, berbagai status atau komentar seseorang di media sosial untuk dijadikan bahan pemberitaan atau artikel. Apalagi jiika dimaksudkan untuk mempermalukan atau menghina seseorang diluar konteks. Saya bilang diluar konteks karena belum tentu  status dan komentar seseorang tersebut mengandung kebenaran. Bagaiamana jika dia bukan pemilik akun tersebut? Bagaimana jika akunnya  di hack? Dapatkah secara moral kita mempertanggungjawabkannya? Tentu dapat, namun sayangnya seseorang yang bersalah atau tidak tadi sudah menuai kemarahan dari pihak lain. Dan nampaknya banyak di antara kita yang merasa nyaman dengan keadaan tersebut. Padahal dalam UU ITE sendiri mengakui bahwa suatu informasi/dokumen elektronik tidak dengan serta-merta atau otomatis akan menjadi suatu bukti yang sah. Jika sebuah status atau komen saja tak diakui sebagai alat bukti yang sah, tentu sangat gegabah jika kita membenarkan apa yang kita tulis dari hasil mengutip, mencatut status atau komen orang lain.

Memang diera jurnalistik digital sekarang, perbuatan mengutip tadi sah-saja saja, namun secara netiket tetap akan mempermalukan diri kita atau sang jurnalis. Jurnalistik digital dalam bentuk apa saja mengandung dua sisi yang sama tajam, tergantung seseorang untuk secara bijak menggunakannya.

Referensi :

Section 230 of the Communications Decency Act - Wikipedia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun