Mohon tunggu...
Erwin Abdillah
Erwin Abdillah Mohon Tunggu... Jurnalis - #KisahDesa

Seorang anak desa yang kembali ke desa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pertanda

11 April 2012   18:48 Diperbarui: 2 Juni 2020   23:50 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kau kah itu? Yang datang dalam suara-suara harpa tanpa rupa seperti angin dari sela jendela Dalam derap kaki mendekat membikin bayangan tumpul di bawah pintu Yang membuatku selalu menengok kearah datangnya suara  dengan senyum curiga Dan menunggu dalam girang dan cemas sambil kupegang ujung kemejaku Kau kah itu? Yang menyeruak dalam bunga yang tersusun oleh harum beras ketan Dalam rupa mengkilat dan rona pelangi beroleskan wangi santan pandan Oh geliatmu dalam balutan daun pisang dan tusuk bambu Resah aku melihatmu namun aku enggan memakanmu Kau kah itu? Tergumpal dalam bubur sumsum dan darah seperti rasa juruh yang janggal Menggenang candil dalam lelehan gula aren dalam kendil Engkaulah merah putih dalam kuali jingga, dalam sarat dan serat Jawa Engakaulah yang menjadi alasan tersulam tulang darah, ketan juruh. Dwi warna Kau kah itu? Wahai pertanda, mengapa kau tak berbentuk Dan bagaimana jika aku lalu buta begitu saja Apakah kau menjelma pula dalam suara dan rasa Apakah kau masih menemaniku hingga akhir samsara, wahai pertanda? Ketahuilah, Negeri ini telah kehilangan asap dupa dan asap kabut dan asap hampa Tiada lagi nenek tua yang membisikkan nyala pada api Seperti nenekku dahulu yang setia pada tungku dan arangnya Pada kayu bakar yang kami kumpulkan dari hutan dan ladang di sore hari Oh pertanda, aku rindu pada wangi juruhku, bukan pada darah merah dan biru Aku ingin mengaduk-aduk hingga keruh bubur sumsum pagi di ujung pasar itu Oh pandan dan santan, mengapa kau kini enggan terhidang? Tak wangikah engkau seperti dulu? Nusa indah hampir punah karena setan yang memakan ketanku mencuri benang-benang dari bambu Oh pertanda, apakah kau datang dari pintuku? Apakah kau mengetuknya barang tiga kali? Atau kau menjelma menjadi jajan pasar nan rupawan dalam kemilau warna bunga?tanpa daun pisang dan pandan. Plastik saja. Apakah kau racun yang mengental dalam candil dan berkerak menebalkan kendil? Bunuhlah aku dengan nyala tungku nenekku, kembalikan aku pada arang dan abu. Aku teramat takut terperangkap jerat dusta. Kau kah itu? Wahai pertanda, mengapa kau meredup? Mati kah engkau? Mati kah aku? 31 Maret 2012 Sehabis menonton sidang DPR ttg kenaikan BBM Subsidi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun