Mohon tunggu...
Erwin Erviana
Erwin Erviana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Kerja dalam Pandangan Islam

25 Februari 2017   16:01 Diperbarui: 25 Februari 2017   16:38 6834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

1. Pengertian Bekerja

Dalam KBBI bekerja secara etimologi ialah melakukan suatu pekerjaan (perbuatan). Dan secara terminologi, arti bekerja adalah suatu perbuatan, usaha, tindakan, atau aktivitas manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk memenuhi kebutuhan hidup atau mencapai suatu tujuan tertentu.

Namun secara umum bekerja dalam Islam dapat diartikan seluruh perbuatan atau usaha manusia baik yang ditujukan untuk dunianya maupun yang ditujukan untuk akhiratnya.[1] Sistem ekonomi Islam memandang bekerja sebagai bentuk kebaikan. Apabila seseorang bekerja dengan baik maka telah dipandang berbuat kebaikan dan hasil pekerjaannya dinilai baik secara materil maupun imateril. Dengan bekerja, manusia bisa memberi manfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Apalagi bisa mengerjakan kewajiban yang lain. 

Allah menciptakan segala kenikmatan melalui berbagai macam sumber daya alam. Dan bekerja adalah suatu kewajiban juga dalam hal memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya untuk kebahagiaan manusia itu dan beribadah kepada-Nya. Dan Allah juga tidak memaksakan manusia untuk bekerja diluar kemampuannya.[2] Hal ini diterangkan dalam surah Al-Baqarah ayat 286 yang berbunyi:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا ٱكْتَسَبَت

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya”(QS. 2:286)

Selain itu juga, bekerja harus didasari dengan keyakinan bahwa pekerjaan ialah amanah yang harus dipikul dan dikerjakan secara tuntas.

2. Urgensi Kerja Dalam Pandangan Islam

Manusia diciptakan dengan sifat yang merasa tidak pernah puas. Dari itu, manusia disini selalu memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi setiap harinya. Maka dari itu dengan bekerja secara bersungguh-sungguh bisa memenuh semua kebutuhan tersebut. Mungkin awalnya berja harus menjadi paksaan, namun kemudian bekerja menjadi kebiasan bahkan menjadi sebuah kebanggaan.

Allah menciptakan dunia dan seisinya dengan bentuk adanya sekarang, serta dengan posisinya terhadap matahari yang berotasi sekali dalam sehari dan berevolusi sekali dalam setahun.[3] Akibatnya adanya siang dan malam sehingga manusia bisa melakukan pekerjaan pada saat siang hari dan bisa beristrahat pada malam hari.Semua itu Allah menciptakan untuk makhluknya dengan tujuan agar makhluknya bisa bersyukur dengan terus menerus kepadanya. Hal ini diterangkan dalam surah Al-Qhasas ayat 73 yang berbunyi:

وَمِنْ رَحْمَتِهِ جَعَلَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ لِتَسْكُنُوا فِيهِ وَلِتَبْتَغُوا مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

Artinya: “Dan sebagian rahmat-Nya, Dia jadikan untuk kamu malam dan siang supaya kamu beristirahat padanya dan supaya kamu mencari sebagian dari karunia-Nya dan agar kamu bersyukur.”

Sudah jelas dari tafsir ayat ini bahwa Allah menciptakan adanya siang dan malam agar kira bisa mencari sebagian karunia-Nya pada siang hari dan beristirahat pada malam harinya. Semua ini adalah karunia Allah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka mengetahui kekuasaan-Nya dan dengan itu semua mereka akan selalu bersyukur yang tiada henti kepada-Nya.

Selain itu, dalam Al-Qur’an juga terpapar tentang menghormati kewajiban yang 5 yaitu sholat wajib 5 waktu termasuk juga sholat jum’at bagi laki-laki bahkan ketika sedang bekerja sekalipun. Dalam surah Al-Jumu’ah ayat 10 yang berbunyi:

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya:”Apabila telah ditunaikan shalat (jum’at) itu, maka silahkanlah kamu bertebaran di muka bumi ini; dan carilah karunia Allah serta ingat/sebutlah asma Allah itu sebanyak-banyaknya, supaya kamu beruntung.”

Dalam tafsir globalnya, sesibuk apapun orang yang beriman di hari jum’at karena melakukan suatu aktivitas apapun termasuk bekerja, ketika adzan jum’at dikumandangkan, maka mereka haruslah cepat menghentikan segala aktivitasnya tersebut dan bersegera menunaikan ibadah shalat jum’at secara berjamaah. Seusai melaksanakan sholat jum’at, kemudian dipersilahkan kembali melaksanakan aktivitasnya sebagaimana dilakukan sebelum masuk waktu shalat jum’at.[4] Kecuali ada halangan yang mendesak, seperti menjaga keamanan yang sedang berlangsung dan apabila di tinggalkan akan mendapatkan kerugian yang sangat besar.

Islam selalu memberi kebebasan kepada pemeluknya untuk berusaha, selama itu semua tetap berada pada jalur halan dan tidak pada hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Didunia ini semua terjadi berdasarkan hubungan interaksi baik secara horizontal maupun vertikal. Tersirat dalam Al-Qur’an surah An-Najm ayat 39 yang berbunyi:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ

Artinya:”Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya.”

Dalam buku Tafsir Al-Mishbah karangan M. Quraish Shihab dijelaskan bahwa Allah tidak akan melenyapkan usaha hamba-nya baik usaha yang baik maupun yang buruk. Namun, itu semua kelak akan diperlihatkan kepadanya dan diberikannya balasan itu dengan balasan yang sempurna.[5] Begitu juga dalam bekerja apabila manusia melakukan pekerjaannya dengan amanah dan bersungguh-sungguh, maka mereka akan mendapatkan gaji yang setimpal dengan apa yang telah dikerjakannya.

Dengan begitu pulu kita terhadap Allah sang pemberi rizki, setelah kita menerima semua nikmat yang telah diberikan-Nya, kita tidak akan pernah lupa untuk selalu bersyukur atas nikmat tersebut.

[1] Saefullah, Eef. Bekerja Dalam Prespektif Islam.Jurnal IPI Portal Garuda.

[2] Lopa, Baharuddin. 1996.  Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia.Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Hlm. 84.

[3] Shihab, Quraish. 2009. Tafsir Al-Mishbah.Jakarta: Lentera Hati. Hlm. 655.

[4] Suma, Muhammad Amin. 2013. Tafsir Ayat Ekonomi.Jakarta: AMZAH. Hlm. 70.

[5] Shihab, Quraish. 2009. Tafsir Al-Mishbah.Jakarta: Lentera Hati. Hlm. 205.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun