Mohon tunggu...
Erwin Skripsiadi
Erwin Skripsiadi Mohon Tunggu... -

seorang pemimpi yang lahir di Salatiga, sebuah kota kecil di pinggiran Jawa Tengah, setelah tujuh tahun di Ibukota, kini memilih menyepi ke pinggiran Surakarta, menjadi tukang ojek pribadi bagi istrinya, sembari sesekali kembali ke Ibukota untuk "dodolan abab" atau "nguli desain" bagi kepentingan produk-produk kapital ...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Fans Berat TVRI

8 Desember 2010   20:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_79209" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/admin (Shutterstock)"][/caption] Saya punya rahasia yang saya pendam selama sekian puluh tahun. He ... he ... he ... bukan rahasia besar, kok! Hanya sekadar pengakuan, jika saya belum pernah sekalipun menonton G 30 S PKI sampai tuntas! Tatkala film itu masih menjadi tontonan wajib di TVRI, saya hanya sanggup menyelesaikan bagian pertama film tersebut sebelum terpotong Dunia Dalam Berita dan Laporan Khusus! Mata belia saya tak pernah sanggup melawan rentetan kata-kata Pak Moerdiono yang sedemikian panjang dengan jeda e...e...e...e... muncul berulang ulang. Tapi saya tak akan mengajak mengupas G 30 S PKI, he he he sudah terlalu banyak yang mengupasnya baik dengan analisis wacana maupun dengan analisis yang lain. Justru saya akan mengajak mengupas TVRI, raksasa televisi kita yang tengah sekarat. Sekarat? Uh, sadis banget, sih! Sedikit kuesioner untuk membuktikannya : Dalam seminggu berapa jam Anda menonton TVRI? Dapatkah Anda menyebutkan acara-acara TVRI? Saya rasa banyak dari Anda yang akan menjawab 0 jam dan tidak tahu acara apa yang ditayangkan di TVRI. Namun jika pertanyaan itu Anda tanyakan ke Mbah Tandiyo, pasti beliau akan bisa menjawab dengan sempurna. Bahkan dari eyang saya itu, saya jadi tahu jika Slamet Raharjo Jarot punya acara talk show di TVRI, namanya Malam Mingguan Bersama Slamet Rahardjo (waduh ... pantes gak ada yang nonton, semua pada milih malam mingguan bersama pacar masing-masing!). Itu adalah bukti jika Mbah Tandiyo adalah Fans Berat TVRI. Di tengah gempuran 10 stasiun tivi swasta (he he he TVRI kan kalau gak salah BUMN, kan?) dan beraneka ragam merek tivi dengan beragam fitur yang kian moderen Mbah Tandiyo tak mau diganti dan masih tetap bertahan dengan tivi Nasional Panasonic 14 inci hitam putih dan saluran single channel VHF TVRI-nya! Minggu lalu, saat "menemani" beliau, saya serasa kembali ke jaman TVRI saya yang dulu, tidak berubah! Baiklah saya bantu sedikit mengingat. Aneka Ria Safari, Album Minggu Ini, Kamera Ria, dari Gelangang ke Gelanggang atau Dunia Dalam Berita, semua masih ada di TVRI. Masih dengan citarasa dan konsep yang hampir sama. Kamera Ria masih hadir dengan konsep variety show berpenonton anggota korps baju loreng dari berbagai angkatan. Masih sama, mereka menonton dengan seragam dinas dan cara tepuk tangan yang seragam, he ... he ... he ... he. Masih ada juga acara favorit saya dahulu, Dari Gelanggang ke Gelanggang. Saat itu sedang fokus menyiarkan siaran langsung bulutangkis Asian Games Guangzhou. Menonton siaran langsung bulutangkis di layar TVRI tak jauh beda dengan tivi lain (mungkin karena siaran ini relay). Tapi saat kembali ke studio saya bagaikan ber"nostalgia". Tampilan info grafis yang sangat-sangat sederhana (he ... he ... he ... maaf mirip seperti grafis shooting manten di kampung kami), angle kamera yang kadang tidak pas dan kualitas gambar yang jauh (mungkin karena kualitas kamera videonya). Saya benar-benar merasa sangat hambar melihat siaran olahraga di TVRI. Diperparah lagi oleh pemilihan presenter yang sering salah dan kaku dalam penyebutan istilah-istilah olahraga. Saya jadi kangen Dari Gelanggang ke Gelanggang zaman Bung Sambas, Max Sopacua, Huzair Tarmizi, atau Nus Tuwannakotta. Mereka adalah panduan saya saat mengikuti perkembangan Galatama. Setiap minggu saya menunggu mereka mewartakan idola saya, mulai Ahmad Muhariah dari BPD Jateng hingga Iwan Karo Karo di Medan Jaya. Mereka begitu fasih dan punya wawasan luas tentang olahraga. Apalagi Sambas! Kekurangan grafis bisa ia ditutupi dengan narasi deskriptif tentang peristiwa yang terjadi di lapangan. Sambas selalu bisa menyihir saat ia melakukan siaran langsung. Saya jadi berandai-andai. Jangan-jangan eyang saya adalah satu-satunya fans berat TVRI yang masih tersisa di negeri ini. Duh gusti!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun