Mohon tunggu...
Erwin Skripsiadi
Erwin Skripsiadi Mohon Tunggu... -

seorang pemimpi yang lahir di Salatiga, sebuah kota kecil di pinggiran Jawa Tengah, setelah tujuh tahun di Ibukota, kini memilih menyepi ke pinggiran Surakarta, menjadi tukang ojek pribadi bagi istrinya, sembari sesekali kembali ke Ibukota untuk "dodolan abab" atau "nguli desain" bagi kepentingan produk-produk kapital ...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Susi Susanti, Bachdim, dan Khidmat Indonesia Raya

8 Desember 2010   17:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu ketika, di tengah euforia mahasiswa yang sok jadi agent of change kami berbincang di ruang tengah kontrakan kami di bilangan Suryowijayan. Temanya cukup panas, mempertanyakan nasionalisme! Saat itu kami kami sedang memperbincangkan buku Ben Anderson yang telah direvisi oleh penerbit dan pengarangnya karena dianggap salah penerjemahannya.

Imagine community yang diterjemahkan menjadi komunitas imajiner dianggap salah besar. Kata itu lalu dikoreksi menjadi komunitas yang dibayangkan. Indonesia adalah komunitas politik yang dibayangkan atau imagine political community dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat. Disebut dibayangkan, karena para warga suatu bangsa tidak saling kenal. Dibayangkan berdaulat karena bangsa ini berada di bawah suatu negara yang mempunyai kontrol atas seluruh wilayah dan bangsa tersebut. Disebut sebagai komunitas yang dibayangkan karena para anggota bangsa tersebut selalu memandang satu sama lain sebagai saudara sebangsa dan setanah air, meskipun masih ada kesenjangan dan penindasan. Perasaan sebangsa dan setanah air inilah yang menyebabkan jutaan warga negara-bangsa ini bersedia mati bagi komunitas yang dibayangkan tersebut.

Mungkin karena perasaan itu saya bersedia serak habis suara karena terus teriak selama 90 menit, bersedia membeli jersey merah buatan apparel Amrik yang menguras kocek, bahkan bersedia marahan dengan genduk sigaraning nyowo karena nekat ke Ibukota untuk menonton langsung , he he he he! Tak berhenti sampai disitu, saya masih saja tak bosan melototin berita yang terus berulang di berbagai chanel tivi tentang kesuksesan Pasukan Garuda melumat Laos, Malaysia dan Gajah Putih.

Perasaan ala Andersen itu yang mungkin bisa menjelaskan mengapa saya merasakan getaran yang berbeda saat Indonesia Raya dikumandangkan. Getaran yang saya yakin dirasakan oleh semua yang hadir di Senayan. Tak peduli Bachdim yang mungkin baru pertama kali mendengar Indonesia Raya atau puluhan ribu penonton lain yang sudah 12 tahun “dipaksa” menyanyikan Lagu Indonesia Raya setiap hari Senin.

Tiba-tiba saya ingat. Getaran itu pernah saya rasakan saat saya masih berumur sepuluh tahun. Getaran yang muncul saat saya duduk tegang di depan tivi hitam putih siaran langsung TVRI. Ketegangan yang berubah bahagia saat pengembalian shuttlecock Bang Soo Hyun melebar keluar. Saya larut bersama tetesan air mata bangga Susi Susanti saat Indonesia Raya berkumandang di Barcelona. Saya bangga dengan Susi Susanti, saya tak tahu jika Susi Susanti masih harus menggunakan SKBRI, Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Khidmat Indonesia Raya yang tak tergubris hanya karena ia keturunan Tionghoa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun