Mohon tunggu...
Erwin Suryadi
Erwin Suryadi Mohon Tunggu... profesional -

Indonesia for better future

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Politisasi Industri Migas Indonesia (1): Politisasi Kepastian Hukum

14 April 2014   16:57 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13974889121363419605

[caption id="attachment_331702" align="aligncenter" width="624" caption="Jaringan Pipa Gas | Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]

Bangsa Indonesia sejak lama dikenal sebagai salah satu negara yang tergabung dalam asosiasi pengekspor minyak dunia (OPEC) dan menjadi salah satu penyumbang devisa pendapatan negara kita tercinta ini. Akan tetapi, pernyataan tersebut hanyalah masa lalu yang tinggal menjadi sebuah kenangan belaka. Sebut saja seorang Menteri ESDM dengan lantang mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah keluar dari keanggotaan OPEC dan sebaliknya Indonesia menjadi sebuah negara yang rajin mengimport minyak dengan jumlah yang semakin besar setiap tahunnya. Selain itu, berdasarkan data yang diperoleh dari SKK migas untuk tahun 2013, rencana penerimaan migas sesuai target APBN-P tahun 2013 seharusnya memperoleh US$ 31,7 milyar dan ternyata perolehan yang bisa dicapai adalah US$ 31,35 milyar, sehingga terjadi defisit sekitar US$ 350 juta atau sekitar Rp.3.5 triliun (kurs Rp. 10.000,-).  Sebuah angka yang jauh lebih besar daripada kasus Hambalang ataupun kasus suap MK yang sampai hari ini masih menjadi buah bibir publik.

Kegagalan pencapaian itu apabila diterjemahkan secara volume produksi yang seharusnya ditargetkan dalam UU APBN-P tahun 2013, yaitu sebesar 840 ribu barrel per hari (bph) untuk minyak bumi dan 7.7175 juta British Thermal Unit Per Hari (MMBTUD) dan hanya bisa terealisasi sebesar 826 ribu bph (98%) dan 7.6981 juta MMBTUD (97%). Padahal sebelumnya di tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Instruksi Presiden no 2 Tahun 2012 tentang Peningkatan Produksi Minyak Bumi Nasional, dimana instruksi tersebut diberikan kepada: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Badan Usaha Milik Negara, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Para Gubernur dan Para Bupati/Walikota, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan secara terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk mencapai produksi minyak bumi nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta bph pada tahun 2014.

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa Presiden sendiripun sudah memerintahkan anak buahnya untuk dapat mempercepat peningkatan produksi minyak bumi, sebagai salah satu sumber andalan pendapatan negara. Akan tetapi pada kenyataannya, hasil yang didapat sangat jauh dari harapan bahkan menurut informasi yang diperoleh, untuk awal tahun 2014 ini kisaran produksi minyak bumi ada pada angka 790 - 800 ribu bph. Dengan data tersebut maka semakin lengkaplah penurunan kinerja industri migas kita.

Berdasarkan pengalaman selama ini dalam memantau dan mengamati industri migas Indonesia, sesungguhnya ada banyak permasalahan yang muncul dan mengakibatkan penurunan tersebut. Untuk itu, maka akan dibuat beberapa kajian sektoral yang diperkirakan menghambat peningkatan kinerja industri migas tersebut. Alasan yang pertama yang menurut saya menarik untuk diangkat dan dikupas terkait dengan kepastian hukum dan peraturan-peraturan yang ada di industri migas ini.

Sebagai acuan perlu diketahui bahwa UU migas dimulai dari UU pertambangan yang dibuat tahun 1899 dengan nama Indische Mijnwet. Selanjutnya UU tersebut dibatalkan oleh Presiden Soekarno melalui UU no 10 tahun 1959 dan digantikan dengan UU no 37 Prp 1960. Bahkan dari UU tersebut diterbitkan pula UU no 44 Prp 1960 tentang pengaturan status lex specialist pada pertambangan minyak dan gas bumi. Selanjutnya lahirlah UU no 8 tahun 1971 mengenai kelahiran Pertamina dan terakhir UU Migas muncul melalui UU no 22 tahun 2001. Melalui UU yang terakhir ini lahirlah 2 badan baru yang mengawasi jalannya industri hulu dan hilir migas, yaitu: Badan Pelaksana Hulu Migas (BP Migas) dan Badan Pengatur Hilir Migas (BPH migas).

Apabila kita membahas mengenai produksi minyak dan gas bumi, maka sudahlah tentu tidak dapat dipisahkan dari institusi BP migas dari berdirinya sampai dibubarkannya pada tanggal 13 November 2012 melalui putusan Mahkamah Konstitusi dikarenakan keberadaan BP migas melanggar pasal 33 UUD 1945, sehingga sejak saat itu harus dibubarkan. Mengingat tugas BP migas yang begitu besar, diantaranya adalah memberikan persetujuan Plan of Development (POD), Work Program and Budget (WP&B), Authorization for Expenditure (AFE) serta persetujuan pengadaan barang dan jasa, maka Presiden pada saat itu juga mengeluarkan Peraturan Presiden no 95 tahun 2012 yang poin pentingnya adalah pembentukan Satuan Kerja Sementara Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi. Selanjutnya Presiden mengeluarkan kembali Peraturan Presiden no 9 tahun 2013 untuk membentuk Satuan Kerja Khusus Migas (SKK migas).

Keputusan Presiden tersebut sesungguhnya merupakan awal dari kepastian hukum dari sebuah intitusi yang mengawal pendapatan negara sebesar hampir Rp. 1 triliun/hari. Dari keputusan MK tersebut, sesungguhnya salah satu poin yang dibatalkan adalah status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dengan segala kekhususannya, misalnya untuk menjalankan kegiatannya dengan menggunakan iuran dari kontraktor yang diawasi, dan bahkan pola penganggaran yang tidak melalui skema APBN seperti layaknya institusi pemerintah lainnya. Maka apabila sekarang dipertanyakan sesungguhnya apa dasar hukum SKK migas ? Apakah memang Perpres sudah cukup memayungi industri yang krusial ini ? Dan mengapa UU migas no 22 tahun 2001 tidak segera direvisi baik oleh DPR RI maupun Pemerintah untuk mengatasi permasalahan kepastian hukum institusi ini.

Permasalahan SKK migas tidak selesai sampai disitu, Pada tanggal 13 Agustus 2013, Kepala SKK migas ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena tertangkap tangan dalam melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Sepertinya tanggal 13 merupakan tanggal keramat bagi institusi SKK migas. Belum jelasnya status hukum SKK migas juga diikuti dengan tidak jelasnya pimpinan SKK migas, karena dari tanggal tertangkapnya Kepala SKK migas, maka sampai hari ini belum ada pengganti definitif dari Kepala SKK, sehingga institusi tersebut hanya dipimipin oleh seorang plt Kepala SKK Migas. Kembali pertanyaannya, mengapa Pemerintah tidak segera memutuskan Kepala SKK Migas definitif ? Karena seorang plt jelas tidak mempunyai kewenangan penuh untuk memutuskan begitu banyaknya persoalan migas yang ada dalam kaitannya untuk mencapai target yang disyaratkan dalam Inpres no 2 tahun 2012 tersebut.

Permasalahan kelembagaan Satuan Kerja Khusus, bukan hanya satu-satunya permasalahan kepastian hukum yang ada. Berdasarkan pengamatan dikarenakan adanya UU Otonomi Daerah, mulai muncul ketidaksinkronan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam hal melaksanakan kegiatan hulu dan hilir migas. Tak kurang Pemkot Prabumulih mengeluarkan Perdakot Prabumulih nomor 12 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Minyak dan Gas Bumi dalam Wilayah Kota Prabumulih dimana sesuai pasal 2.1 disebutkan bahwa "Walikota berwenang melakukan pengaturan Penyelenggaraan Pengusahaan Pengeolaan Minyak dan Gas Bumi di Daerah" dan wewenang Walikota pada pasal 2.2 poin 1 disebutkan "Persetujuan penggunaan Wilayah Kuasa Pertambangan atau Wilayah Kerja Kontraktor untuk kegiatan pengusahaan Minyak dan Gas Bumi". Perdakot tersebut, secara tidak langsung menimbulkan tumpang tindih wewenang antara kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kekacauan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan bahkan antar Kementerian di Pusat untuk mendukung kegiatan hulu migas juga tidak hanya sebatas seperti kasus Prabumulih diatas. Sangat banyak program eksplorasi atau usaha pencarian sumur minyak baru terbengkalai dan tertunda-tunda karena permasalahan lahan yang ada di daerah hutan lindung, tidak diberikan ijin oleh pemda, dan masih banyak lagi permasalahan lainnya. Apalagi kalau dikaitkan bahwa Kepala Daerah saat ini berasal dari berbagai Partai Politik yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun