Seiring dengan perkembangan jaman maka masyarakat semakin dimanjakan dengan kehadiran teknologi baru seperti dari kendaraan bermotor dari berbagai macam merk dan jenis, pesawat udara yang semakin canggih, sampai pada peralatan sehari-hari yang menyerap tenaga listrik. Teknologi baru tersebut memang memberikan manfaat tambahan yang sangat besar bagi manusia, sehingga dalam beberapa kasus, manusia sudah sulit untuk melepaskan ketergantungan mereka pada teknologi tersebut, misalnya pada smart phone.
Hal yang positif tersebut, apabila kita kaji lebih jauh lagi ternyata memberikan dampak pada semakin tingginya konsumsi bahan bakar khususnya minyak untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Sebagai bukti, sesuai dengan data dari SKK Migas, disebutkan bahwa minyak kita terus meningkat rata-rata sebesar 8% pertahun dan di sisi lain produksinya sendiri turun terus rata-rata 15% pertahun (Pradnyana,2014). Sumber tersebut juga mengatakan bahwa perubahan tingkat konsumsi dan produksi ini menyebabkan sejak awal tahun 2000-an, Indonesia harus keluar dari negara pengekspor minyak dan berubah menjadi negara pengimpor minyak.
Dengan menjadi negara pengimpor minyak yang saat ini melakukan impor kira-kira sekitar 1.500 MBOPD, jelas mengharuskan pemerintah untuk memberikan subsidi kepada masyarakat sampai ratusan milyar per tahun. Dana tersebut seperti habis terbakar tanpa hasil karena dinikmati bukan hanya kalangan kurang mampu, tapi juga dinikmati oleh kalangan mampu yang mengedarai mobil dan motor mewah. Pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran ini jelas memusingkan pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam menjaga marwah Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33.
Untuk mengatasi masalah tersebut, para ahli-ahli perminyakan Indonesia sudah mengemukakan pendapatnya serta saran-saran yang memang baik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Saran-saran yang muncul apabila dikelompokkan berisi dari saran perbaikan UU Migas no 22 tahun 2001, saran perbaikan pola perijinan yang sangat panjang dan berbelit, saran pembangunan infrastruktur kilang, saran penyesuaian model cost recovery, saran perbaikan sistem kelembagaan, dan masih banyak lagi saran-saran lain yang memang baik tapi sulit untuk mencari titik start untuk memulai perbaikan ini.
Permasalahan Utama di Industri Hulu Migas
Sesuai dengan teori manajemen yang ada disebutkan bahwa untuk dapat menyelesaikan sebuah permasalahan dengan tepat, maka harus dicari akar permasalahannya. Pencarian akar permasalahan inilah yang mungkin juga menjadi perdebatan dari berbagai pakar perminyakan. Terkait dengan tulisan ini, akar permasalahan yang akan digunakan sebagai acuan adalah sifat dari industri hulu migas itu sendiri, yaitu panjangnya proses penemuan sumber minyak itu sendiri.
Secara alamnya, minyak bumi yang berada di perut bumi pastilah sulit dengan pasti ditemukan titiknya. Berbagai macam teknologi sudah diciptakan oleh manusia untuk memperbesar kemungkinan ditemukannya sumur minyak. Akan tetapi, tetap sebagai manusia, kita tidak akan dapat dengan tepat memastikan titik bor dari sumber minyak tersebut. Berbagai kegagalan seperti dry hole maupun tragedi seperti lapindo sudah sangat lazim terjadi di dunia perminyakan ini.
Padahal untuk sampai titik pengeboran sebuah sumur minyak, kontraktor kerja sama (K3S) harus melalui tahap yang juga tidak kalah panjang, misalnya lelang wilayah kerja, pengurusan perijinan yang sangat banyak baik di pusat maupun di daerah, melakukan proses mapping, eksplorasi dan eksploitasi yang mana membutuhkan waktu sekitar 2-3 tahun dengan biaya mencapai puluhan sampai ratusan juta dollar. Dan hal yang tidak kalah ironisnya, walaupun sudah dilakukan investasi biaya sebesar itu, belum tentu minyak bumi tersebut dapat ditemukan.
Dari nature of business industri migas tersebut, jelas tidak banyak perusahaan lokal yang mampu untuk mengelola industri hulu migas ini. Sehingga tidak heran, Pertamina dan Medco sebagai perusahaan lokal harus mampu menghadapi gempuran dari perusahaan-perusahaan raksasa asing seperti Chevron, Total, CNOOC, Conoco Phillip, dan masih banyak lagi untuk berlomba-lomba mengeksploitasi isi perut bumi Indonesia.
Kondisi Lapangan Hulu Migas Indonesia
Sesuai dengan data dari SKK Migas disebutkan bahwa Indonesia mulai membangun industri hulu migas pada periode 1960 - 1977 dimana kondisi sumur-sumur kita pada saat itu adalah cadangan minyak bumi yang jumlahnya melebih 20 juta barrel, cadangan tersebut dapat bertambah secara signifikan seiring dengan usaha-usaha pencarian yang dilakukan, kapasitas produksi juga terus meningkat, tingkat water cut yang rendang (10-30%), harga minyak yang murah dan dengan kondisi tersebut mengakibatkan sistem cost recovery menguntungkan negara.