Mohon tunggu...
Erwin Suryadi
Erwin Suryadi Mohon Tunggu... profesional -

Indonesia for better future

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Status “Darurat” Industri Hulu Migas Indonesia

15 Oktober 2014   17:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:56 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_366687" align="aligncenter" width="624" caption="Sumber: Shutterstock/kompas.com"][/caption]

Sudah sejak lama, industri migas di Indonesia khususnya di sektor hulu, selalu menjadi sebuah topik diskusi yang menarik. Akan tetapi tahun 2012-2014 ini merupakan tahun yang sangat spesial bagi Industri Migas Indonesia khususnya di sektor hulu. Dimana pada saat Indonesia melalui kementerian ESDM sedang mencanangkan program penaikan lifting menjadi 1.000.000 (satu juta) barel per hari pada tahun 2015, ternyata secara berturut-turut industri hulu migas mengalami beberapa pukulan telak, dimulai dari pembubaran BPMigas sebagai sebuah institusi yang diamanatkan oleh UU no 22 tahun 2001 untuk menggantikan peran Pertamina menjadi pengawas dari para Kontraktor Kerja Sama (KKS) yang mengelola wilayah kerja yang tersebar di Indonesia.

Pembubaran tersebut segera ditindaklanjuti dengan keluarnya Perpres no. 95 tahun 2012 mengenai Pengalihan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi untuk membentuk SKK migas yang teknis organisasinya diatur oleh Perpres no. 9 tahun 2013 mengenai Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Perpres tersebut pada akhirnya memutuskan untuk mengangkat dan menetapkan Prof. Rudi Rubiandini sebagai kepala SKK Migas yang bertanggung jawab untuk mengejar target pencapaian tersebut.

Pukulan telak yang kedua datang pada saat KPK melakukan tangkap tangan dan menetapkan Rudi Rubiandini sebagai tersangka yang pada akhirnya ditetapkan bersalah oleh pengadilan. Selanjutnya kasus tersebut menyebar dan menetapkan Sutan Bhatoegana selaku Ketua Komisi VII DPR RI dan Jero Wacik selaku Menteri ESDM menjadi tersangka dalam pengembangan kasus yang menimpa Rudi Rubiandini tersebut.

Kasus-kasus yang bermunculan tersebut jelas memunculkan kecurigaan dari masyarakat bahwa ada yang salah dalam sistem tata kelola migas kita dan memang ada keterlibatan mafia migas yang selama ini merugikan negara kita tercinta. Apalagi saat ini, Indonesia sebagai sebuah negara yang dikenal memiliki banyak wilayah kerja minyak dan gas bumi ternyata hanya bisa menghasilkan sekitar 830 ribu barel per hari dan harus melakukan impor sebesar 1,7 juta barel per hari sehingga mengakibatkan subsidi BBM tahun 2014 ini mencapai angka diatas Rp. 400 triliun. Sebuah angka fantastis yang membuat masyarakat semakin meyakini keberadaan oknum-oknum yang dianggap sebagai mafia migas tersebut.

Terlepas dari permasalahan tersebut, yang lebih penting saat ini adalah bagaimana masa depan dari industri hulu migas Indonesia? Apakah dengan telah dihukum dan disangkakan-nya pejabat-pejabat negara akan mengembalikan industri hulu migas kita ke arah yang lebih baik atau malah sebaliknya.

Untuk menjawab dan memetakan masa depan industri hulu migas Indonesia, maka dilakukan serangkaian kegiatan penelitian yang meliputi pengamatan, pembahasan dan pendalaman dengan memakai data-data dan nara sumber yang memadai utamanya dari beberapa pekerja di SKK migas untuk mengetahui perkembangan terkini dari industri hulu migas ini. Dari hasil penelitian tersebut maka ditemukan beberapa hal yang menarik untuk disampaikan bahwa secara positif dan meyakinkan Indonesia sesungguhnya masih memiliki cadangan minyak dan gas bumi yang jumlahnya masih cukup signifikan, akan tetapi keberadaan cadangan tersebut tidak lagi ada di darat (on-shore) akan tetapi sudah berada di laut dalam (off-shore), misalnya seperti pada project Indonesia Deepwater Development (IDD) dengan lokasi di laut dalam Selat Makasar yang diusung oleh PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI).

Project IDD sendiri terdiri dari 4 buah kontrak production sharing (PSC), yaitu PSC Ganal, Rapak, Selat Makasar dan Muara Bakau untuk mengembangkan lima buah lapangan gas, yaitu lapangan Bangka, Gehem, Gendalo, Maha dan Gandang. Rencana awalnya dari lima lapangan gas yang terintegrasi tersebut akan dikembangkan 28 sumur laut dalam dengan menggunakan 2 buah floating production unit (FPU) dan 1 buah subsea tie-back, dengan besaran investasi sebesar US$ 6 milyar.

Sesuai dengan PTK BPMigas yang ada disebutkan bahwa besaran investasi tersebut harus sebelumnya disetujui oleh BPMigas sebagai instansi yang mewakili pemerintah untuk menentukan besaran cost recovery dari setiap pengajuan Plan of Development (POD) yang diajukan oleh Kontraktor KKS. Mengacu pada aturan tersebut, maka pada tahun 2012, CPI mengajukan POD tersebut kepada BPMigas. Selanjutnya, belum sempat disetujui ternyata BPMigas sudah dibubarkan oleh MK dan ditunjuklah SKK Migas sesuai dengan peraturan Presiden tersebut.

Dikarenakan ada kekisruhan institusi, maka selanjutnya pengajuan POD tersebut tertunda sampai pada ditetapkannya Rudi Rubiandini sebagai Kepala definitif SKK Migas. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi krisis internasional yang mendorong terjadinya kenaikan biaya ekspolitasi, sehingga pada tahun 2013 tersebut CPI mengajukan revisi POD menjadi sekitar US$ 12 milyar. Selain itu, CPI juga mengajukan perpanjangan kontrak wilayah kerja sehingga investasi yang telah ditanamkan dapat memberikan keuntungan bagi seluruh pihak.

Selanjutnya, pada saat revisi POD tersebut dibahas, mengingat bahwa gas-in harus sudah terjadi pada tahun 2017, maka diperintahkanlah CPI untuk segera memobilisasi peralatan secara pararel dengan pembahasan POD tersebut. Pada saat proses tersebut dijalankan sesuai dengan ketentuan yang ada, maka selanjutnya terjadilah kasus tangkap tangan Kepala SKK migas yang diikuti dengan runtunan proses hukum lainnya.

Kejadian tersebut kembali menunda proses revisi POD tersebut, belum lagi di posisi internal SKK Migas sendiri dijabat oleh Plt SKK Migas yang secara ketentuan tidak memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan. Kelambatan berbagai proses tersebut sempat ditengahi oleh Menteri Koordinator Perekonomian, Chairul Tanjung, dimana dijelaskan bahwa kenaikan besaran POD tersebut akan terus diproses dan tidak ditemukan adanya mark-up dari anggaran tersebut.

Kembali, kekuatan seorang Menko Perekonomian yang mengeluarkan pernyataan tersebut, kembali sulit direalisasi oleh SKK Migas yang tidak memiliki dasar hukum berdasarkan UU serta tidak memiliki pemimpin yang definitif. Apalagi pada saat yang berdekatan, Menteri ESDM selaku ketua Komisi Pengawas SKK Migas juga ditetapkan sebagai tersangka.

Dengan sedikit gambaran umum dari kasus IDD ini sebagai contoh kasus pengelolaan industri hulu migas Indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan industri hulu migas Indonesia memang sedang berada pada titik nadir, dimana sistem pengelolaan terutama masalah kelembagaan menjadi tugas utama bagi pemerintahan Jokowi-JK untuk segera dibenahi dan diatasi. Kasus IDD ini merupakan contoh sebuah kelambatan proses birokrasi di Indonesia, dimana sebagai dampak dari keterlambatan ini maka Indonesia harus sudah siap untuk membayar biaya stand by dari peralatan yang sudah siap untuk digunakan serta Pemerintah juga harus siap menghadapi tuntutan dari pembeli yang dalam perjanjian jual beli gas akan bisa gas-in pada tahun 2017 nanti. Sedikit informasi bahwa apabila masalah IDD ini tidak segera diselesaikan maka negara bisa mengalami kerugian sebesar Rp 260 triliun atau sebesar pendapat negara dari sektor migas.

Pemerintah Jokowi-JK, daripada memikirkan pembentukan tata kelola baru, sebaiknya segera memfokuskan penyelesaian sistem tata kelola industri hulu migas yang sampai hari ini penuh dengan ketidakpastian dengan cara melakukan revisi UU no 22 tahun 2001 atau setidaknya dengan mengeluarkan Perppu khususnya mengenai masalah kelembagaan yang mengatur industri hulu migas. Semakin lambat pemerintah Jokowi-JK bertindak, maka semakin kritis kondisi industri hulu migas Indonesia.

Berikanlah kepastian bagi para pekerja migas, utamanya yang tergabung dalam SKK migas mengenai statusnya dan begitu juga kepastian dari status perpanjangan wilayah kerja yang sudah mendekati akhir seperti pada wilayah kerja Mahakam dan wilayah kerja lainnya. Dengan demikian, usaha pemerintahan Jokowi-JK untuk dapat memperbaiki industri hulu migas dapat segera dilakukan. Sehingga permasalahan mengenai besaran subsidi yang menyandera Pemerintahan dapat segera diatasi dengan adanya kepastian hukum bagi para investor dimanapun.

Wass

Dr. Erwin Suryadi, ST, MBA

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun