Mohon tunggu...
Erwan Saripudin
Erwan Saripudin Mohon Tunggu... Insinyur - Trainer Pertanian

Tertarik dengan isu isu pertanian

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Penyerbuk dan Pemencar di Kawasan Ekosistem Leuser

30 Agustus 2016   02:50 Diperbarui: 30 Agustus 2016   03:01 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: BPS Aceh Setelah diolah)

 “Belantara haruslah heterogen, teracak, rumit, tak terduga dan penuh misteri.”.

“Serangga penyerbuk dan hewan pemencar adalah penjamin kelestarian ”.

“KEL adalah halaman rumah bagi penyerbuk dan pemencar, TNGL adalah rumahnya”.

“Menjaga KEL berarti menjaga penyerbuk dan pemencar untuk TNGL dan Masa Depan”

_________________________________________________________________________________________________

Inti tulisan.

Hutan alam yang heterogen itu sangat penting.

Serangga penyerbuk dan pemencar berperan penting untuk keanekaragaman

KEL dihilangkan dari RTRW Aceh, Perkebunan Kelapa Sawit Meningkat

_____________________________________________________________________________________________

Kita mungkin pernah melihat potret tentang hutan belantara bukan? terbayang banyak hal yang bersifat alami disana mulai dari lebatnya rimbunan kanopi, batang pohon besar, bunga tanah nan lembab, cerewetnya beburung, berisiknya serangga, gemericiknya mata air, gemulainya lambaian ranting dan udara yang sejuk untuk bergegas ingin kesana membawa paru paru tambahan tentunya.  Kita kemudian menyimpulkan hutan belantara adalah harmoni alam yang tersusun indah.

Pameo “Tak ada pohon tak ada hutan” sungguh benar adanya, dari pohonlah sumber kehidupan bagi pemakan tetumbuhan (herbivora).  Memang, dedaunan selalu berbaik hati mengubah energi matahari menjadi energi kimia dan menimbunnya dalam bentuk gula.  Herbivora yang kekenyangan kemudian berkembang menjadi daging buruan yang lezat bagi hewan karnivora.  Dalam liarnya belantara, pemakan segala (omnivora) bermunculan dengan padu padan santapan antara daun tumbuhan dan daging hewan.  Semuanya, baik tetumbuhan, herbivora, karnivora dan omnivora akan kembali memenuhi siklus kehidupan belantara melalui mati, disitulah peran pengurai bekerja untuk mengembalikan semuanya kepada tanah.  Pohon adalah awal kehidupan kompleks dimulai, kehidupan hutan.

Keberadaan satu jenis pohon semata tidak pernah cukup untuk dikatakan sebagai sebuah hutan, pepohonan di hutan haruslah beraneka dan beragam, beraneka ragam.  Keanekaragaman adalah prinsip untuk menopang segala kehidupan yang ada didalamnya, jika tidak maka sistem kehidupan tidak dapat terbentuk, gejalanya berupa kepincangan disana sini yang kemudian tidak terkendali dan menyebabkan ambrolnya sistem.  Semakin lengkap jenis tumbuhan dalam hutan maka semakin sempurna sistim yang terbentuk.

Jejaring mulai terbentuk dalam keheterogenan, teracak, rumit, tak terprediksi, dan penuh misteri.  Tempat dimana semua makhluk mengais rezeki, saling memakan tetapi bukan bermakna meniadakan, saling mengendalikan, saling berbagi hingga tak ada yang lebih dominan melebihi proporsinya, senantiasa berulang seperti itu untuk memperbaharui kesesuaian.  Mekanisme yang bekerja dalam jejaring itu kemudian menguatkan dan mengekalkan sistem.  Inilah yang disebut jaring jaring kehidupan sebagaimana analogi kehidupan menurut Fritjof Capra .

Kembali kepada flora yang menjadi fokus utama tulisan ini, tidak dapat dibayangkan jika tetumbuhan didalam hutan itu seragam, sebagaimana istilah hutan jati yang sering diwacanakan belakangan ini, begitu pula hutan pinus, hutan karet dan yang lebih ekstrim lagi hutan sawit.  Pemberian istilah yang kurang tepat jika makna hutan dapat terpenuhi hanya dengan satu jenis tumbuhan saja, jika demikian maka persawahan padi dapatlah dikatakan hutan padi,  reduksi yang berlebihan bukan ?.  Tetapi hutan haruslah beragam.

Keanekaragaman akan menggaet sub sistem baru dari daerah sekitar guna mendukung pertumbuhan dan perkembangan hutan, mereka adalah serangga penyerbuk, hewan pemakan buah dan pemencar biji.  Hewan itulah yang bekerja menganekaragamkan hutan, serangga penyerbuk meramu genetik tetumbuhan melalui bantuan penyerbukan (polinasi), sedangkan hewan pemencar mengatur jarak bahan genetik agar tidak tumbuh pada jarak yang berdekatan untuk menghindari inbriding (kawin dekat).  Keanekaragaman dibentuk oleh hewan penyerbuk dan pemencar.

Bernaung di dalam belantara senantiasa berjibaku dengan ancaman.  Bagi tumbuhan, strategi untuk mempertahankan spesies hanya dengan memperbanyak variasi genetik.  Hutan yang ideal haruslah memiliki tumbuhan dengan keragaman intraspesies yang tinggi, tentunya bersumber dari campuran genetik bersilangan, kawin silang adalah mekanisme tumbuhan untuk mempertahankan spesies, ketika salah satu sifat genetik dalam satu spesies tidak dapat bertahan maka setidaknya spesies yang sama dengan sifat genetik berbeda dapat bertahan untuk melanjutkan generasi.  Peramuan oleh serangga dan pemencaran oleh hewan adalah mekanisme yang digunakan untuk mengatur persilangan genetik.

Perubahan iklim menjadi ancaman serius bagi sifat genetik tumbuhan yang tidak adaptif terhadap perubahan, baik kekeringan yang panjang (El-Nino) ataupun kebasahan yang panjang (La-Nina) sama-sama menggerus sifat genetik spesies tertentu.  Ketika satu sifat genetik tidak dapat bertahan ditengah perubahan maka diperlukan sifat genetik lainnya yang lebih mampu beradaptasi, dalam hal ini tentunya diperlukan sifat genetik yang telah terekspresi dan teruji dalam ekologi berbeda.  Pemencarlah yang membawanya dalam ekologi berbeda dan penyerbuklah yang meramunya menjadi genetis yang dapat menghadapi ancaman.

Gambaran tentang penyerbuk dapat disaksikan dalam Film animasi berjudul “Epic” (2013), film tersebut memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang begitu sibuknya para pengatur hutan, dikatakan oleh professor Bomba (peran utama dalam film tersebut) bahwa didalam hutan terdapat makhluk yang sangat sibuk dan tak terlihat di dalam hutan,  mereka menjaga hutan dan menjamin keberlangsungannya. 

Selain film Epic, Film “Bee Movie” (2007) juga menjadi cara lain dalam memahami pentingnya penyerbukan di dalam hutan, keberhasilan Barry (pemeran utama film Bee Movie) memenangkan hak atas madu dari manusia, membuat kaumnya malas mengumpulkan madu, hal tersebut justru menjadi bencana bagi tetumbuhan dan lebah itu sendiri. Akhirnya Barry menjadi polinator pertama yang kembali memprovokasi kawanannya untuk mengambil nektar di dalam kelopak bunga.

Selain film tentang tentang penyerbukan ada juga film yang membantu kita berkhayal tentang pemencaran, mari sejenak kita mengingat tentang Film animasi Ice age (2002) yang menggambarkan tentang pemencaran, difilm itu menceritakan tupai Scrat yang selalu mengejar buah acorn, film ini setidaknya menggambarkan sifat tupai Scrat yang menjadi pemencar tumbuhan yang bernama lain kenari itu.  Scrat kemudian terkenal sebagai pemencar kenari ke seluruh dunia setidaknya dalam film itu.

Peradaban manusia akhir akhir ini telah sadar dengan fungsi keberadaan hutan heterogen dalam menyangga kehidupan, tetapi kesadaran tersebut masih kontradiktif dengan kelakuannya karena hanya menyisakan sedikit sekali hutan dengan syarat lestari.  Diseluruh dunia hanya terdapat beberapa sistem hutan yang dilindungi, bahkan beberapa diantaranya status tersebut ditiadakan, salah satunya adalah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang menjadi penopang Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Provinsi Aceh.  Berita Penting:  Sejak terbitnya Qanun RTRW No. 19 Tahun 2013 KEL tidak dimasukkan kedalam kawasan strategis nasional.

KEL yang hilang menjadi pertanyaan penting bagi penggiat lingkungan, selain keberadaannya yang tidak jelas, juga terdesak oleh pertumbuhan kebun kelapa sawit yang meminta lahan dalam jumlah besar.  Provinsi aceh mengalami persentase pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang cukup tinggi dari tahun ke tahun, setara dengan persentase pertumbuhan kelapa sawit di sumatera utara.  Peningkatan luasan ini dikhawatirkan mendesak KEL yang telah dikeluarkan dari RTRW.  Menurut banyak pemberitaan media, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang merupakan KEL terjadi di Aceh Tamiang, Aceh Selatan (rawa kluet) dan Kabupaten Rawa Singkil.

Isu pembangunan perkebunan (dan Pertanian) mempengaruhi motivasi sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem leuser terutama di Kabupaten Aceh Selatan dan langkat untuk mengembangkan lahan usaha budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang membutuhkan areal luas.

(Sumber: BPS Aceh Setelah diolah)
(Sumber: BPS Aceh Setelah diolah)
Kelapa sawit merupakan tumbuhan asli benua afrika, walaupun demikian, tampilan pertumbuhannya justru lebih baik di Indonesia di bandingkan di Afrika.  Penyerbuk kelapa sawit bernama “Ela” (Eladibius camerunicus) bekerja secara spesifik hanya membantu pembuahan bunga betina kelapa sawit yang rumahnya berbeda dengan bunga jantan, untuk berada di perkebunan kelapa sawit si “Ela” harus diimport karena hanya berada di habitat asli kelapa sawit di Afrika.  Satu hal yang harus di fahami bahwa kelapa sawit tidak akan berproduksi optimal jika si “Ela” tidak ada. 

Perkebunan kelapa sawit berlawanan dengan hutan alam, kebun sawit bersifat homogen sedangkan hutan alam bersifat heterogen, kebun sawit terkendali oleh manusia mulai dari varietas yang seragam hingga perlakuan pertumbuhan dan perkembangannya sedangkan hutan alam terjadi pengendalian sendiri oleh alam, kebun sawit bertujuan produksi sedangkan hutan alam bertujuan konservasi.  Itulah mengapa sistem ekologi kebun sawit lebih rentan dibandingkan hutan alam.

Berdasarkan pengalaman pribadi, memasuki kebun sawit berumur tua sekalipun yang ada hanyalah kesunyian, tanpa suara suara kehidupan.  Sangat berbeda ketika memasuki hutan alam yang riuh ceriahnya menandakan kehidupan sebenarnya.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan dua hutan yang lokasinya bersebelahan, TNGL merupakan pusat konservasi yang dilindungi dunia sedangkan KEL diperuntukkan sebagai penyanggah TNGL.  Ilustrasi di bawah ini dapat memberikan pandangan singkat mengenai KEL dan TNGL.

KEL menopang TNGL dalam banyak hal mulai dari jarak paparan dengan pemukiman manusia, suplai sumber daya hayati tumbuhan, hingga penyediaan serangga penyerbuk dan hewan pemencar.  Ketiadaan KEL membuat jarak manusia dengan TNGL semakin dekat sehingga mudah terpapar oleh aktivitas pemukiman.  Suplai sumber daya hayati juga terbatas jika suatu waktu terjadi erosi genetik di dalam TNGL dan keterbatasan penyerbuk dan pemencar menjadi bencana bagi perkembangan sumberdaya genetik di TNGL.

Menurut Beukering (2003) dalam jurnal Ecological Economics bahwa total nilai ekonomi KEL selama 30 tahun sebesar 7 Milyar dolar untuk nilai deforestasi, 9,5 miliar dolar untuk konservasi dan 9,1 miliar dolar untuk pemanfaatan selektif. Kontributor utama dalam konservasi dan pemanfaatan selektif adalah pasokan air, pencegahan banjir, pariwisata dan pertanian.  Pendapatan kayu memainkan peran penting dalam skenario deforestasi.  Dibandingkan deforestasi, konservasi KEL menguntungkan semua pemangku kepentingan kecuali industri penebangan kayu dan perkebunan.

Sifat hutan di KEL sama halnya dengan di TNGL yaitu hutan yang cukup lengkap, didalamnya memiliki berbagai jenis flora seluruh dunia.  Van Steenis (1950) seorang ahli botani belanda membagi wilayah tumbuh tumbuhan di TNGL atas 4 zona yaitu: Zona Tropika (500-1000 mdpl), zona peralihan dari tropika ke colline dan sub–montana, zona montana (1000-1500 mdpl), dan zona sub alphine (2900-4200 mdpl).

Pembagian tumbuhan oleh Van Steenis memberikan pemahaman bahwa tumbuhan tertentu hanya dapat hidup pada keadaan iklim tertentu yang diplot berdasarkan ketinggian.  Kemudian, serangga penyerbuk dan hewan pemencar mengikuti pola kesesuaian yang dilakukan tumbuhan yakni bersifat khas pula terhadap ketinggian.

Cara serangga membantu pembuahan tumbuhan sangat unik, dimulai dari ketertarikan serangga pada warna kelopak bunga, kemudian mendekat.  Ketika mendekat bunga mengeluarkan aroma nektar yang disukai serangga yang menyebabkan serangga bergegas lebih dekat lagi.  Ketika serangga menikmati nektar bunga ternyata serbuk sari bunga jantan menempel di badan serangga, serbuk sari itulah yang kemudian dihantarkan oleh serangga pada jebakan atraktan selanjutnya oleh bunga betina, terjadilah polinasi di kepala putik (pembuahan).  Dari mekanisme ini serangga beruntung mendapatkan nektar dan tumbuhan beruntung terjadi pembuahan.  mekanisme ini disebut interaksi antara serangga – tumbuhan.

Serangga yang dominan berlaku sebagai penyerbuk adalah lebah dan kupu kupu.  Lebah tidak dapat dipungkiri lagi peranannya di TNGL, di era on line dewasa ini produk madu gunung lauser dijajakan seperti kacang goreng saking berlimpahnya.  Sedangkan untuk kupu kupu ada tulisan menarik yang khusus membahas kupu kupu dari Julaili Irni (2014), dalam tulisannya mengungkapkan bahwa kupu kupu di Langkat (salah satu wilayah gunung leuser) terdiri dari 38 spesies yang berasal dari 5 famili, berlimpahnya spesies kupu kupu membuktikan tingginya penyerbukan yang dilakukan oleh serangga, diduga keragaman genetik juga tinggi jika diasumsikan setiap kupu kupu bersifat spesifik pada jenis tumbuhan tertentu.

Cara hewan memencar tumbuhan dilakukan dengan mengkonsumsi buah tetumbuhan, kemudian biji yang melekat didalam daging buah dibuang begitu saja pada radius yang cukup jauh dari pohon induknya, namun ada pula biji yang ikut tertelan didalam sistem pencernaan hewan, kebanyakan biji tidak dapat tercerna sehingga keluar bersama kotoran, lokasi jatuhnya biji untuk mekanisme ini dapat lebih jauh dari pohon induknya.

TNGL memiliki 130 jenis mamalia atau 1/32 dari keseluruhan jenis mamalia yang ada didunia atau ¼ dari seluruh jenis mamalia yang ada di Indonesia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Mawas/orang-utan sumatera (Pongo pygmaeus abelii), Sarudung/owa (Hylobates lar), Siamang (Hylobates syndactilus syndactilus), Kera (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi). Untuk jenis satwa carnivora seperti Macan dahan (Neofelis nebulosa), Beruang (Helarctos malayanus), Harimau sumatera (Panthera tigris Sumatraensis). Jenis satwa herbivora seperti Gajah (Elephas maximus), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatraensis), Rusa (Cervus unicolor).

Mari kita membayangkan seekor rusa yang habis memakan buah  kemudian dikejar harimau, biji buah yang dimakan rupanya masuk ke dalam pencernaannya, namun berkat kelihaiannya berlari rusa tersebut berhasil lolos dari sergapan.  Sampai di suatu sungai kecil ia hendak minum tetapi keburu kebelet, biji yang ditelannya keluar utuh dan tumbuh ditepian sungai, lalu berkembang dan berbuah lagi.

Menurut Pratiwi (2014), mamalia besar dengan feses kurang lebih 1 kg dapat membawa biji akasaia seberat 7 gram dengan viabilitas (kemampuan tumbuh pada tempat yang ideal) rata-rata sebesar 50%.  Hasil penelitian tersebut menjadi pedoman berfikir bahwa pemencaran biji sangat mungkin dilakukan oleh mamalia besar jauh dari pohon induknya.

Jenis hewan tersebut dapat dikatakan jenis berjalan karena mengandalkan perpindahan sejauh kakinya berjalan, jenis hewan lainnya yang lebih jauh dalam memencar tumbuhan yaitu burung.  Jenis satwa burung di KEL dan TNGL diperkirakan ada sekitar 325 jenis burung atau sepertiga puluh dari jumlah jenis burung yang ada di dunia. Diantaranya yang paling menonjol adalah Rangkong Badak (Buceros rhinoceros).  Burung dapat membawa buah buahan melalui paruhnya ataupun kotorannya dan menjatuhkannya pada tempat yang disukai, atau mengumpulkannya didalam sarang.  Bagi biji hal ini merupakan transportasi yang sangat murah.

Menurut Kinnaird (1998), Rangkong memegang peranan yang sangat penting dalam ekosistem hutan, yaitu sebagai pemburu maupun agen dalam regenerasi hutan. Spesies burung ini memiliki pengaruh nyata dalam pemencaran biji, dan dinamika populasi dari pohon-pohon hutan tropis. Proses pemencaran biji oleh burung rangkong dengan kemampuan membuka dan menelan buah yang besar, serta hasil pengeluaran kotoran yang berisi biji yang tidak hancur membuat spesies ini bertindak sebagai pemencar biji yang ideal. Pemencaran biji oleh burung rangkong cukup jauh bahkan sampai berkilo-kilometer karena kemampuan spesies rangkong yang dapat terbang jauh untuk mencari makanan.

Upaya pemerintah untuk mengembangkan sektor non pertanian di kecamatan kecamatan di kawasan penyangga ekosistem leuser tampaknya terbatas, bahkan dalam kebijaksanaan pembangunan provinsi NAD, dua kabupaten dimana ekosistem leuser berada yaitu kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Tenggara diarahkan kepada wilayah pembangunan dan pengembangan pertanian-perkebunan.  Rencana pengembangan ini mengancam keberadaan penyerbuk dan pemencar yang berada didalamnya sehingga tidak dapat berkontribusi dalam menopang penyerbuk dan pemencar dari KEL ke TNGL.

Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) adalah mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis.

Dibalik kokohnya pepohonan di hutan KEL dan TNGL, ada sekawanan bangsa kecil yang bekerja untuk mengatur penggenerasian pepohonan, dari satu generasi ke generasi berikutnya, mereka merawat keberlanjutan karena dengan keberlanjutan pepohonanlah mereka dapat melanjutkan kehidupan, merekalah bangsa serangga yang wara wiri setiap pagi dan sore hari, mengantarkan serbuk bunga jantan kepada kepala putik bunga betina. 

Selain itu ada pula bangsa hewan mamalia dan burung yang memencar biji kemanapun mereka hendak membuang kotoran.  peran mereka tidak dapat dianggap sepele, merekalah yang menjamin keberlanjutan hutan alam. Keberlanjutan kehidupan.

Silahkan membayangkan hidup tanpa hutan, penyerbuk dan pemencar, Jujur ini lebih horor dari film suster ngesot.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun