Peradaban manusia akhir akhir ini telah sadar dengan fungsi keberadaan hutan heterogen dalam menyangga kehidupan, tetapi kesadaran tersebut masih kontradiktif dengan kelakuannya karena hanya menyisakan sedikit sekali hutan dengan syarat lestari. Diseluruh dunia hanya terdapat beberapa sistem hutan yang dilindungi, bahkan beberapa diantaranya status tersebut ditiadakan, salah satunya adalah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang menjadi penopang Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di Provinsi Aceh. Berita Penting: Sejak terbitnya Qanun RTRW No. 19 Tahun 2013 KEL tidak dimasukkan kedalam kawasan strategis nasional.
KEL yang hilang menjadi pertanyaan penting bagi penggiat lingkungan, selain keberadaannya yang tidak jelas, juga terdesak oleh pertumbuhan kebun kelapa sawit yang meminta lahan dalam jumlah besar. Provinsi aceh mengalami persentase pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang cukup tinggi dari tahun ke tahun, setara dengan persentase pertumbuhan kelapa sawit di sumatera utara. Peningkatan luasan ini dikhawatirkan mendesak KEL yang telah dikeluarkan dari RTRW. Menurut banyak pemberitaan media, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang merupakan KEL terjadi di Aceh Tamiang, Aceh Selatan (rawa kluet) dan Kabupaten Rawa Singkil.
Isu pembangunan perkebunan (dan Pertanian) mempengaruhi motivasi sebagian besar masyarakat di sekitar ekosistem leuser terutama di Kabupaten Aceh Selatan dan langkat untuk mengembangkan lahan usaha budidaya tanaman perkebunan (kelapa sawit, karet dan kakao) yang membutuhkan areal luas.
Perkebunan kelapa sawit berlawanan dengan hutan alam, kebun sawit bersifat homogen sedangkan hutan alam bersifat heterogen, kebun sawit terkendali oleh manusia mulai dari varietas yang seragam hingga perlakuan pertumbuhan dan perkembangannya sedangkan hutan alam terjadi pengendalian sendiri oleh alam, kebun sawit bertujuan produksi sedangkan hutan alam bertujuan konservasi. Itulah mengapa sistem ekologi kebun sawit lebih rentan dibandingkan hutan alam.
Berdasarkan pengalaman pribadi, memasuki kebun sawit berumur tua sekalipun yang ada hanyalah kesunyian, tanpa suara suara kehidupan. Sangat berbeda ketika memasuki hutan alam yang riuh ceriahnya menandakan kehidupan sebenarnya.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan dua hutan yang lokasinya bersebelahan, TNGL merupakan pusat konservasi yang dilindungi dunia sedangkan KEL diperuntukkan sebagai penyanggah TNGL. Ilustrasi di bawah ini dapat memberikan pandangan singkat mengenai KEL dan TNGL.
KEL menopang TNGL dalam banyak hal mulai dari jarak paparan dengan pemukiman manusia, suplai sumber daya hayati tumbuhan, hingga penyediaan serangga penyerbuk dan hewan pemencar. Ketiadaan KEL membuat jarak manusia dengan TNGL semakin dekat sehingga mudah terpapar oleh aktivitas pemukiman. Suplai sumber daya hayati juga terbatas jika suatu waktu terjadi erosi genetik di dalam TNGL dan keterbatasan penyerbuk dan pemencar menjadi bencana bagi perkembangan sumberdaya genetik di TNGL.
Menurut Beukering (2003) dalam jurnal Ecological Economics bahwa total nilai ekonomi KEL selama 30 tahun sebesar 7 Milyar dolar untuk nilai deforestasi, 9,5 miliar dolar untuk konservasi dan 9,1 miliar dolar untuk pemanfaatan selektif. Kontributor utama dalam konservasi dan pemanfaatan selektif adalah pasokan air, pencegahan banjir, pariwisata dan pertanian. Pendapatan kayu memainkan peran penting dalam skenario deforestasi. Dibandingkan deforestasi, konservasi KEL menguntungkan semua pemangku kepentingan kecuali industri penebangan kayu dan perkebunan.
Sifat hutan di KEL sama halnya dengan di TNGL yaitu hutan yang cukup lengkap, didalamnya memiliki berbagai jenis flora seluruh dunia. Van Steenis (1950) seorang ahli botani belanda membagi wilayah tumbuh tumbuhan di TNGL atas 4 zona yaitu: Zona Tropika (500-1000 mdpl), zona peralihan dari tropika ke colline dan sub–montana, zona montana (1000-1500 mdpl), dan zona sub alphine (2900-4200 mdpl).
Pembagian tumbuhan oleh Van Steenis memberikan pemahaman bahwa tumbuhan tertentu hanya dapat hidup pada keadaan iklim tertentu yang diplot berdasarkan ketinggian. Kemudian, serangga penyerbuk dan hewan pemencar mengikuti pola kesesuaian yang dilakukan tumbuhan yakni bersifat khas pula terhadap ketinggian.