Mohon tunggu...
ERWAN RISTYANTORO
ERWAN RISTYANTORO Mohon Tunggu... -

Aku membaca zaman, Aku membaca semesta, Aku bersama kompas,

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Membuang Anomali Lingusitik ’Anu’ dari Bahasa Indonesia (’Anu’ I)

25 September 2012   07:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Kemarin anu beli baju di pasar Klewer, tapi ternyata kancingnya sudah lepas.”

”Kemarin Dik Narti anu baju di pasar Klewer, tapi ternyata kancingnya sudah lepas.”

”Kemarin Dik Narti beli anu di pasar Klewer, tapi ternyata kancingnya sudah lepas.”

”Kemarin Dik Narti beli baju di anu, tapi ternyata kancingnya sudah lepas.”

”Kemarin Dik Narti beli baju di pasar Klewer, tapi ternyata anu-nya sudah lepas.”

”Kemarin Dik Narti beli baju di pasar Klewer, tapi ternyata kancingnya sudah anu.”


Sebagian penutur bahasa Jawa pasti tidak asing dengan terma ”anu” seperti terlihat pada contoh di atas. Sebagian pendatang atau wisatawan di Kota Surakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), atau secara umum orang yang berdomisili di Jawa Tengah atau mereka yang memiliki darah Jawa, pasti juga sudah sangat karib dengan istilah yang hanya terdiri dari tiga huruf ini: A, N, dan U.

Barangkali, karena sudah terlampau akrab (atau karena sudah melekat dalam cara berbahasa kita), kita tak mengerti benar makna sejati dari istilah ini. Istilah ini seakan sudah mendarah, mendaging, dan bahkan telah me-nulangsungsum dalam alam bawah sadar para penuturnya.

Tidak ada bukti historis dalam khazanah Bahasa Jawa ataupun Bahasa Melayu tentang kapan istilah ini pertama kali muncul. Terma ”anu” ini juga tak pernah terdokumentasikan dalam kamus atau ensiklopedia apapun. Pendek kata, terma ini sebuah entitas istilah yang HANYA ada dalam ranah tutur saja, dan tidak ada dalam ranah tulis.

Jadi, untuk melacak dan menggali lebih dalam tentang terma ini pasti akan mengalami kesulitan. Namun, biarpun demikian, kita bisa memberikan segepok analisa tentang istilah yang tampaknya hanya khas dimiliki oleh penutur bahasa Indonesia yang berbahasa ibu Bahasa Jawa ini.

Melihat pola pembentukannya, yang hanya terdiri dari tiga huruf (huruf latin: A, N, dan U), sangat kuat dugaan, kata ini belumlah berumur lama. Atau setidaknya akan sangat sulit kalau dikatakan istilah ini muncul sejak era Pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito, era Mataram, atau era Aji Saka yang menjadi penanda lahirnya aksara Jawa. Akan mustahil dibayangkan bila istilah ”anu” lahir sejak era Aji Saka, karena pasti ejaan dengan aksara Jawanya akan terdiri dari aksara ha dan na yang dipangku. Dengan begitu, dengan argumentasi ini, istilah ”anu” kemungkinan baru muncul dalam percakapan dalam hitungan beberapa dekade yang lalu. Besar kemungkinan, ia lahir seabad yang lalu: pada era pemerintahan Hindia Belanda hampir berakhir di tahun 1900-an atau pada masa sekitar kemerdekaan.

Mengapa demikian? Karena pada era pasca kemerdekaan, bahasa Jawa pun seolah menemukan ”kemerdekaan”nya. Pada masa setelah merdeka, Wong Jawa, bebas berekspresi, termasuk berekspresi dalam ranah linguistika. Artinya, kebebasan dalam ranah politik membias pula dalam ranah bahasa, sehingga muncul sejenis anomali linguistika. Karena itulah, istilah ”anu” adalah suatu fenomena anomali bahasa, terkhusus anomali dalam ranah tutur dalam bahasa Indonesia. Tidak ada aturan baku dalam pemakaian istilah ini. Istilah ini lahir tanpa regulasi dan status yang bersifat pakem. ”Anu” ini begitu fleksibel, laksana sebuah kreasi yang terbentuk secara alami-evolutif dalam sebuah ”fisiologi bahasa”.

Istilah ”anu” dalam penerapannya benar-benar irregular: ia bisa menjadi subjek, predikat, obyek, dan sekaligus kata keterangan, seperti bisa dilihat pada contoh di atas. Saya memiliki impian sederhana di kala kita memperingati ulang tahun ke-84 tercetusnya Sumpah Pemuda yang revolusioner itu: Membuang istilah ’anu’ ini dari cara bertutur kita sehari-hari. Ini sekaligus untuk melatih bertutur kata dengan artikulatif dan konseptual dalam rangka menguasai cara berbahasa Indonesia yang baik dan benar secara cerdas.

Kalau mau bertutur dengan artikulasi yang benar dan mantab, kalimat yang benar dari contoh dia atas adalah: ”Kemarin Dik Narti beli baju di pasar Klewer, tapi ternyata kancingnya sudah lepas.” []


Ditulis oleh:
Erwan Ristyantoro
Translator Buku, tinggal di Solo, Jawa Tengah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun