Mohon tunggu...
Ervina Eka Ayu Safira
Ervina Eka Ayu Safira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Pendidikan IPS UM

-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

KKL Pendidikan IPS Universitas Negeri Malang: Dari Hutan Gundul Ke Pesona Tropis, Transformasi Pantai CMC Menjadi Kawasan Ekowisata

15 Mei 2024   19:38 Diperbarui: 15 Mei 2024   22:35 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Papan Informasi Metode Miyawaki di CMC  (Dokumentasi Pribadi)

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata di Daerah, ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Clungup Mangrove Conservation (CMC) adalah kawasan ekowisata yang menarik banyak minat wisatawan salah satunya yaitu mahasiswa S1 Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Negeri Malang yang melakukan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) pada hari Rabu, 1/5/2024. 

Kegiatan ini diikuti oleh Mahasiswa Pendidikan IPS offering A angkatan 2023 yang berjumlah 39 orang untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Geografi Manusia dan didampingi oleh Agung Suprianto, S.Pd, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah ini. Kegiatan diawali dengan pengenalan pemandu ekowisata CMC yang akan memandu perjalanan edukasi  selama disana. 

Kegiatan selanjutnya  adalah mengunjungi kawasan konservasi magrove dengan berjalan kaki, di sepanjang perjalanan pemandu wisata CMC  memberikan edukasi mengenai mangrove, mulai dari jenis mangrove, sistem tanam mangrove hingga pemanfaatan tumbuhan mangrove di sana. Diakhir kegiatan, mahasiswa dengan excited menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang di pantai Gatra. Ada yang berswafoto, canoeing, bermain air di pinggir pantai dan lain-lain. 

Pantai Clungup (Dokumentasi Pribadi)
Pantai Clungup (Dokumentasi Pribadi)

Clungup Mangrove Conservation atau disingkat dengan sebutan CMC, merupakan salah satu nama branding dari wisata alam ekowisata yang dikelola oleh Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru. Berletak di Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Clungup Mangrove Conservation (CMC) dibentuk dan dikelola atas dasar kesamaan visi untuk memulihkan ekologi daerah pesisir. 

Pada awalnya pada tahun 1998, masyarakat secara sporadis memasuki kawasan hutan untuk menebang pohon di pesisir daerah Pantai Clungup. Lalu pada tahun 2005, masyarakat lokal bernama Pak Saptoyo, beliau menemukan hal yang ironis dari hutan kawasan pesisir Pantai Clungup. 

Berawal dari beliau yang pergi untuk mencari ikan di sekitar pantai untuk dijadikan lauk makan di rumah, namun pada saat itu beliau tidak menemukan satu ikan pun untuk dibawa ke rumah. Padahal dulunya kawasan Pantai Clungup sangat mudah untuk mendapatkan ikan. Serta dengan perubahan alam yang terjadi, hutan yang gundul, ekosistem yang buruk, Pak Saptoyo ingin mengembalikan kawasan hutan seperti dulu kala, meskipun nantinya tidak bisa 100% sama, namun setidaknya dapat kembali pulih.

Ditahun yang sama yaitu 2005, kegiatan memulihkan alam yang dilakukan oleh Pak Saptoyo ini dibantu oleh istri, anak, dan orang-orang terdekatnya untuk menanam pohon dikawasan hutan yang gundul. Hingga tahun 2012, kegiatan ini berlangsung secara simpatisan, karena belum memiliki ruang atau kelompok untuk menaungi kegiatan ini. 

Setelahnya ditahun yang sama, 2012, Dinas Kelautan Provinsi Jawa Timur membentuk kelompok pengawas yang dinamakan POKMASWAS GOAL (Kelompok Masyarakat Pengawas Gatra Olah Alam Lestari). Dengan adanya pembentukan kelompok ini, terkumpul 79 relawan dan kegiatan penanaman semakin masif, hanya sesekali bekerja sama dengan beberapa CSA maupun perusahaan untuk merehabilitasi kawasan ini.

Beralih ke tahun 2014, ide dari generasi muda muncul untuk membuka kawasan rehabilitasi hutan ini menjadi kawasan wisata berbasis alam. Meskipun pada awalnya terjadi pertentangan atau kontra dengan para generasi tua, karena takut apabila kawasan hutan akan rusak dan terdapat sampah dimana-mana. 

Sehingga terjadi diskusi untuk mengatasi ketakutan atau kemungkinan buruk yang terjadi dan bagaimana caranya agar kawasan hutan dapat dibuka sebagai tempat wisata berbasis alam namun alam tetap terjaga. Ada beberapa kesepakatan yang diterapkan hingga saat ini kawasan CMC dibuka, yaitu:

  • Melakukan pengecekan sampah pada saat masuk dan keluar dari kawasan
  • Pendampingan oleh pemandu wisata (tour guide), fungsinya supaya bisa mengontrol wisatawan agar tidak merusak, juga sebagai pendapatan para pemandu wisata.
  • Melakukan pembatasan kunjungan pantai. Pantai Clungup dan Gatra dibatasi 300 kunjungan/hari, dan Pantai Tiga Warna 100 orang/dua jam. Ini untuk mendukung agar kegiatan konservasi yang berjalan tidak rusak.

Alasan mengapa dibukanya lahan konservasi menjadi kawasan wisata alam edukasi adalah karena kegiatan ini tidak memiliki income dan berjalannya kerja bakti pada saat itu masih secara sukarelawan, sedang yang mengelola bersama-sama kawasan ini mempunyai tanggung jawab terhadap keluarganya, sehingga diharapkan kawasan konservasi CMC dapat menjadi ladang mata pencaharian bagi pengelola, sukarelawan, serta masyarakat sekitar.

Papan Informasi Metode Miyawaki di CMC  (Dokumentasi Pribadi)
Papan Informasi Metode Miyawaki di CMC  (Dokumentasi Pribadi)

Konservasi mangrove yang ada pada kawasan CMC menggunakan metode Miyawaki. Metode ini ditemukan oleh Prof. Akira Miyawaki dari Jepang yang diimplementasikan pada salah satu kawasan CMC berluaskan 400m persegi. Tentu berbeda dengan reboisasi konvensional yang ada, dengan menggunakan metode Miyawaki tanaman yang ditanam memiliki jarak yang lebih rapat karena mengadopsi kehidupan alami di hutan, yang tumbuhannya dapat tumbuh dengan jarak rapat serta tanpa intervensi pupuk. Dengan lahan 400m persegi dapat tertanam 1400 bibit dengan permeternya dapat tumbuh hingga 4 bibit. 

Semua bibit diklasifikasin menjadi empat kelompok, yaitu kelompok semak, sub pohon, pohon, dan kenopi. Dalam penanaman bibit pada lahan ini tidak ada penyulaman, sehingga jika ada tanaman yang meti berarti tanaman tersebut tidak dapat survive di alam. Selain ada nilai plus, tentu juga ada nilai negatif dari metode ini yaitu pembiayaannya yang mahal. Kawasan 400m persegi ini telah mengahabiskan dana 120 juta dan bekerja sama dengan NGO untuk mengaktualisasikan program konservasi dengan metode Miyawaki ini.

Pohon Mangrove (Dokumentasi Pribadi)
Pohon Mangrove (Dokumentasi Pribadi)

Dalam upaya konservasi, CMC menanam beberapa jenis bakau. Bakau sendiri merujuk ke tanaman dari genus rhizophora yang memiliki ciri khas akar tunjang, sehingga akar ini kuat ketika menahan abrasi karena akar ini akan saling mengikat satu sama lain untuk menahan tanah tetap terkonsolidasi tidak tergerus oleh gelombang.  Sering kita ketahui bahwa mangrove itu bakau, padahal bakau sendiri adalah salah satu jenis dari mangrove. Jenis bakau yang ditanam dikawasan CMC diantaranya rhizophora apiculata atau bakau minyak, rizhophora mucronata atau bakau hitam dan rhizophora stylosa atau bakau putih,  dan excoecaria agallocha atau biasa disebut buta-buta. Terdapat juga mangrove minor Xylocarpus Granatum yang biasanya ditanam menjauhi kawasan pasang surut. 

Adapun tanaman Baringtonia asiatica dan Calophyllum Inophyllum yang sering ditanam di daerah pesisir. Peranan ekosistem mangrove salah satunya yaitu penahan abrasi. Adapun peran lain yaitu menjadi tempat serapan karbon, sehingga tanaman ini bisa membantu atau menahan dari efek rumah kaca. Sistem perakaran pada mangrove memiliki karakteristik yang merujuk ke dalam genus atau spesies tertentu yang memudahkan manusia untuk mengidentifikasi jenis-jenis mangrove.

Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru yang menaungi kawasan CMC, memiliki visi yaitu hidup sejahtera di alam yang lestari. Serta misi yaitu, bagaimana yayasan bisa membentuk suatu kelompok masyarakat yang bisa mengurus organisasi sendiri dan mendorong masyarakat untuk bisa terlibat aktif dalam kegiatan konservasi. Baik diranah konservasi terumbu karang, mangrove, maupun pantai. Yayasan ini memliki 3 pilar perjuangan :

1. Nilai Ekologi.

Berawal pada tahun 2005 dengan kawasan Pantai Clungup yang sangat rusak dan bukit disekitar gundul habis ditebang oleh masyarakat karena imbas peristiwa tahun 1998 sampai dengan 2000 yaitu krisis moneter dan reformasi yang melemahkan hukum, nilai ekologi menjadi pilar pertama yang menghidupi perjuangan Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru. Mengapa pilar ekologi menjadi yang pertama? "Karena jika nilai sosial dulu menjadi yang pertama, lahan sudah semakin rusak. 

Sehingga jika yayasan berkegiatan penanaman dan sebenarnya tidak cocok ketika dinamakan konservasi. Karena konservasi sebenarnya merupakan tempat yang dimana sudah pulih dilindungi, tetapi faktanya pada waktu itu tempat ini sudah rusak, sehingga lebih ke rehabilitasi atau reboisasi. Tapi ketika sudah pulih yayasan ini juga tetap melakukan konservasi agar tetap berkelanjutan." ujar Mas Arik, selaku pemandu wisata kawasan CMC.

2. Nilai Sosial

Nilai sosial menyusul menjadi pilar kedua. Didalam pengelolaan ini, hal yang mendasari nilai sosial tetap bagus yaitu pemberlakuan tutup kunjungan pada saat idul fitri dan  natal selama 10 hari. Ketika tutup saat idul fitri, kawasan tetap dijaga oleh kru yang beragama kristen, begitu juga sebaliknya ketika natal, maka kawasan akan dijaga oleh umat Islam. 

Latar belakang penerapan tutup kunjungan ini adalah ketika di tahun 2014 bulan Desember, wisatawan banyak yang masuk dan kru sangat kelelahan, pada saat itu yang melayani semuanya baik umat kristen maupun umat islam. Sehingga pada saat itu terjadi 2 kebobolan yang pertama kebobolan sosial, karena seharusnya umat kristen yang harusnya hari raya tetapi malah kerja. Kebobolan yang kedua yaitu kebobolan ekologi, dimana saat itu sangat ramai ternyata banyak wisatawan yang lolos membawa petasan, miras, dll.  Toleransi sosial inilah yang juga menjadi dasar pilar perjuangan Yayasan Bhakti Alam Sendang Biru.

3. Nilai Ekonomi

Menjadi pilar perjuangan terakhir untuk yayasan, nilai ekonomi diharapkan menjadi wadah mata pencaharian bagi pengelola, sukarelawan, dan masyarakat sekitar. Untuk saat ini ada 16 pengelola homestay yang dikelola oleh yayasan yang bekerja sama dengan CMC, ketika ada tamu yang bermalam, maka akan didistribusikan di homestay. 

Yayasan juga bermitra dengan masyarakat lokal penyedia catering dan kuliner. Sehingga dengan gerakan ini ada masyarakaat yang terdampak dan mendapatkan hasilnya secara langsung. Dengan demikian, poin di ekologi semakin baik, karena masyarakat sudah mengetahui dengan adanya wisata berbasis alam, bisa menghidupi mereka. Ketika nilai ekologi dan sosial terjalin dengan bagus, maka nilai ekonomi akan mengikuti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun