Secara umum, kita mengenal istilah bahwa anak melakukan hal-hal yang tidak diinginkan karena mereka menginginkan perhatian, kekuatan dan juga kontrol. Anak membutuhkan perhatian dari orang disekitarnya, dia juga selalu menginginkan kekuatan dan kontrol penuh atas apa yang dia lakukan.Â
Jika tujuan utama kita adalah untuk mengajarkan anak mengetahui pilihan perilaku mereka, kita harus mulai dengan memberi contoh pilihan positif dari diri kita sendiri, terutama dalam hal bagaimana kita merespon perilaku anak-anak kita yang tidak diinginkan. Pemahaman siklus konflik membantu orangtua memahami peta yang lebih efektif mengatasi hubungan mereka dengan anak-anaknya.Â
Sebagai anugerah, semua anak harus kita yakini sebagai sesuatu yang terbaik untuk setiap keluarga. Nyatanya, banyak sekali orangtua yang mengeluhkan perilaku anak-anak mereka, mulai dari susah diatur, sampai melawan orangtua. Bahkan banyak di antara mereka yang terjebak pada kondisi frustasi dan pasrah (menyerahkan begitu saja anak-anak mereka) pada pihak sekolah. Â Ketika kondisi tersebut terjadi, tidak jarang pihak sekolah juga kedopokan mencari solusi. Jika dibiarkan, mereka takut perilaku tersebut mempengaruhi siswa yang lain, tapi jika diberi tindakan, orangtua tidak bisa lagi dijadikan acuan.
Sama seperti manusia lainnya, setiap anak ingin merasa baik. Persis seperti kita (manusia dewasa) anak-anak juga merasakan bahwa mengontrol diri sendiri bukanlah urusan yang mudah. Berhentilah menempatkan sekolah (pastinya guru-guru di sana) sebagai dewa penyelamat anak-anak kita.Â
Mereka tidak akan mampu mengembangkan potensi dan kepribadian anak-anak kita secara optimal tanpa ada kerja sama yang produktif dengan orangtua. Selain sebagai tugas setiap manusia, kecerdasan emosional disebut sebagai kecakapan/keterampilan.Â
Tidak ada satupun keterampilan yang tidak bisa dipelajari. Jika kita bersepakat dengan itu, artinya kita wajib menjadikan pengasuhan sebagai taman belajar bagi anak-anak untuk mendapatkan kecakapan tersebut.
Kemampuan sosial emosional nyatanya dapat diajarkan dengan mengidentifikasi lima kompetensi dasarnya. Mulai dari bagaimana mengajarkan anak untuk dapat mengidentifikasikan emosinya, lalu mengaturnya. Bahwa marah, senang, sedih, terkejut, takut dan nikmat itu memang ada dan dimiliki semua manusia. Masalahnya adalah apakah anak tahu bahwa mereka sedang marah? Apa yang harus mereka laukan ketika marah? Jadi, alih-alih balik memarahi mereka saat mereka melampiaskan kemarahannya, harusnya kita justru membimbing mereka untuk mengidentifikasi kemarahan tersebut. Kesehatan dan kecakapan emosi adalah dua hal yang saling berkaitan.Â
Manusia yang berhasil adalah manusia yang mampu menyeimbangkan tekanan internal dan eksternal. Tingkat keberhasilannya adalah mengambil keputusan yang tidak merugikan dirinya dan juga lingkungan sekitarnya. Perlu diketahui, bahwa marah adalah satu di antara beberapa emosi dasar manusia. Jadi jika kita hanya berkonsentrasi pada satu jenis emosi saja, maka kecakapan anak menguasai dirinya tidak akan sebaik jika jika mengenalkan semuanya pada mereka, terlebih membiasakan dengan berbagai cara mengontrolnya.
SUMBER : https://www.kompasiana.com/akhmadmukhlis27/5c4eabab12ae946dc53c7862/kapan-dan-bagaimana-mulai-bercerita-pada-anak,https://www.kompasiana.com/akhmadmukhlis27/5e2aaf6e097f3672982f1552/bagaimana-jika-anak-mulai-bosan, https://www.kompasiana.com/akhmadmukhlis27/5c7cdf89ab12ae2c781e4b3e/memahami-siklus-konflik-orangtua-anak, https://media.neliti.com/media/publications/223896-pengembangan-aspek-sosial-anak-usia-dini.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H