A. Praktek Pelaksanaan Perjanjian Waralaba
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. Menurut Pasal 42 Undang-Undang Tahun 2007, waralaba didefinisikan sebagai “Hak khusus yang dimiliki oleh orang pribadi atau badan usaha terhadap suatu sistem usaha yang bercirikan usaha untuk memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.” Definisi waralaba ini berlaku untuk individu dan bisnis.
Karena keterikatan bersama, pemberi dan pemberi waralaba mengadakan perjanjian yang disebut dengan adanya suatu hubungan hukum. Akibatnya, baik pemberi maupun penerima waralaba menghadapi konsekuensi hukum. Selain menerima royalti secara cuma-cuma, penerima waralaba juga akan mendapat pembinaan atau pelatihan khusus dari pemberi waralaba. Dimulai sebagai pelatihan, pemilik waralaba dapat membimbing bahkan mereka yang tidak memiliki pengalaman sebelumnya dalam bisnis ini.
Dalam prospektus penawaran waralaba, sekurang-kurangnya dapat dilihat informasi sebagai berikut: Lampiran I Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor Tentang Penyelenggaraan Waralaba, khususnya:
1. Informasi mengenai identitas pemberi waralaba, termasuk fotokopi kartu identitas atau paspor pemilik usaha jika perorangan dan pemegang saham, komisaris, dan direktur jika merupakan bisnis.
2. Legalitas usaha waralaba, khususnya izin usaha teknis seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Tetap Usaha Pariwisata, Izin Pendirian Satuan Pendidikan, atau izin usaha yang berlaku di negara pemberi waralaba.
3. Uraian tentang pendirian usaha, kegiatan usaha, dan perkembangan usaha, antara lain, termasuk dalam riwayat kegiatan usaha.
4. Desain hirarkis Franchisor, khususnya konstruksi otoritatif bisnis Franchisor mulai dari Chiefs, Investors dan Chiefs hingga level fungsional termasuk Franchisee/Franchisee.
5. Laporan keuangan Perusahaan Pemberi Waralaba atau disebut juga neraca, selama 2 (dua) tahun terakhir dihitung mundur dari tanggal permohonan Prospektus Penawaran Waralaba.
6. Jumlah tempat usaha, khususnya toko atau outlet waralaba, masing-masing untuk pemilik waralaba dalam negeri dan pemilik waralaba luar negeri, berdasarkan wilayah atau kota domisili.
7. Daftar Penerima Waralaba, yang memuat daftar nama dan alamat usaha dan/atau perorangan yang bertindak sebagai Penerima Waralaba serta usaha yang mendistribusikan prospektus penawaran waralaba, baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di tempat lain.
8. Hak dan kewajiban Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba, khususnya hak-hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak.
B. HUBUNGANNYA DENGAN HaKI (Hak Kekayaan Intelektual)
Dalam mendiversifikasi seperti HAKI, atau setidaknya, ketika bisnis pendirian menggunakan penggunaan nama dan merek, sistem mulai dari tampilan komponen yang tidak dimurnikan hingga bundling, itu adalah daya tarik untuk menarik pelanggan terlepas dari apakah penggunaan nama atau merek yang dimanfaatkan cukup besar. Akibatnya ada beberapa pedoman yang mengarahkan ini.
Dalam usaha pendirian yang terkait dengan Peraturan Kebebasan Inovasi yang Dilindungi, antara lain sebagai berikut:
- UU No. 15/2001 tentang Merek
Merk adalah tanda berupa gambar, nama, kata, huruf, angka, susunan ragam atau gabungan dari unsur-unsur tersebut yang mempunyai ciri ciri dan digunakan dalam kegiatan pertukaran tenaga kerja dan barang yang didaftarkan pada Ketua Umum Lindung Inovasi Keistimewaan, Pelayanan Regulasi dan Kebebasan Bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apalagi dalam Pasal 40 ayat (1), dimana salah satu perolehan kebebasan merek dapat diperoleh melalui suatu pengaturan, selain warisan, penghargaan dan wasiat. Salah satu cara untuk mendapatkan keistimewaan nama merek adalah melalui persetujuan izin untuk menggunakan nama merek, karena dalam hal seseorang menggunakan gambar orang lain tanpa izin, pemilik merek dapat menggugat secara umum (pasal 76 dan 77 dan pidana (pasal 76 dan 77). 90 sampai 93 Peraturan Nama Merek).1]
- Kebebasan Paten (Peraturan No. 14/2001)
Lisensi adalah “kebebasan selektif yang diberikan oleh negara kepada perancang atas kreasi mereka di bidang inovasi, yang untuk jangka waktu tertentu menyelesaikan pengembangannya atau memberikan dukungannya kepada berbagai pertemuan untuk melaksanakannya” (pasal 1 angka 1 Peraturan Paten) .
Lisensi dapat berupa: (a) siklus pembuatan; atau (b) hasil kreasi; atau (c) mengembangkan lebih lanjut interaksi penciptaan; atau (d) peningkatan hasil kreasi; atau (e) peningkatan proses penciptaan.
- Hak Cipta (UU No. 19/2002)
Hak cipta adalah "pilihan ideal bagi pembuat atau penerima hak atas pilihan untuk menyatakan atau menggandakan ciptaannya atau memberikan persetujuan untuk itu tanpa memihak kepada pembatasan[1]pembatasan sebagaimana ditunjukkan oleh undang-undang yang relevan[1]" (pasal 1 angka 1 Undang-undang Intelektual). Peraturan properti).
Suatu Ciptaan “diciptakan oleh masing-masing pembuat yang menunjukkan keasliannya dalam bidang ilmu pengetahuan, keahlian dan penulisan (pasal 1 ayat 3); sedangkan pemegang hak cipta adalah pembuat sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang mendapat hak istimewa dari pembuat, atau perkumpulan lain yang memperoleh kebebasan lebih lanjut dari pihak yang memperoleh hak istimewa (pasal 1 angka 4 UU HAKI) Setiap orang yang menggunakan manifestasi orang lain tanpa persetujuan pencipta dapat dipersalahkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 72 ke 73 Peraturan Kekayaan Intelektual.
- UU No. 30/200 tentang Rahasia Dagang
Peraturan inovasi eksklusif dibentuk dari berbagai kasus yang memiliki unsur-unsur perjanjian, keaslian kekayaan, komitmen berdasarkan kepercayaan dan niat yang sepenuhnya jujur. Secara tangkas, keunggulan proprietary adalah data termasuk persamaan, desain, informasi/pengumpulan data, program, peralatan, strategi/implikasi, proses yang bernilai uang, karena tidak diketahui oleh masyarakat umum dan diusahakan untuk menjaga kerahasiaannya (Margono dan Angkasa, 2002).
C. Penyelesaian sengketa dalam perjanjian waralaba.
Dalam pemahaman pendirian, terkadang ada hal-hal yang terbengkalai atau bahkan yang paling mengerikan adalah terjadinya wanprestasi karena sebagian dari hal-hal tersebut hilang bagi penerima atau franchisor yang tidak sesuai dengan pemahaman dasar atau naluri manusia, menjadi gangguan khusus.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, pemberi waralaba wajib membuat pemberitahuan terlebih dahulu sebagai surat pemberitahuan terlebih dahulu kepada penerima waralaba untuk jangka waktu tertentu, apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan tidak ada perbaikan. Jadi franchisor perlu memberikan teguran terakhir.
Menurut pandangan hukum, teguran kecerobohan itu penting untuk memenuhi ketentuan pasal 1238 Kitab Undang-undang Hukum Umum yang mengatur bilamana salah satu majelis dianggap lalai (wanprestasi).
Setelah peringatan ini disampaikan, namun pemilik waralaba tidak memberikan reaksi yang memadai, pemilik waralaba dapat memutuskan untuk mengambil langkah yang sah untuk mengakhiri perjanjian.
Setelah perjanjian selesai secara sah, pemilik waralaba kemudian perlu mendidik pemilik waralaba untuk berhenti menggunakan kebebasan merek dan inovasi berlisensi dari pemilik waralaba, jika setelah menyelesaikan pedoman ini pemilik waralaba masih menggunakan hak istimewa merek atau inovasi berlisensi dari pemilik waralaba, maka, pada saat itu, perbuatan pemberi waralaba merupakan pelanggaran terhadap Pasal 90 Peraturan Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan dapat dikenakan sanksi kurungan paling lama 5 (lima) tahun atau dapat dikenakan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dalam tindakan dakwaan tuntutan pelanggaran Pasal 90 Peraturan Nama Merek, polisi serta kantor pemeriksa mengharapkan tersedianya pilihan pengadilan terbatas dan terakhir yang menentukan bahwa perjanjian antara pemilik waralaba dan penerima waralaba telah selesai dan dengan demikian sejak saat itu. akhirnya franchisee tidak memiliki hak istimewa untuk menggunakan tanda franchisor. Penetapan pengadilan tersebut diperlukan agar pelaku perambahan merek tidak dapat mengelak dengan menyatakan bahwa yang bersangkutan masih memenuhi syarat untuk menggunakan merek tersebut berdasarkan kontrak pendirian. Pilihan pengadilan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian pendirian dapat ditangani di Pengadilan Negeri, yaitu pengadilan daerah tempat kedudukan penerima waralaba atau pengadilan daerah lain yang biasa diselesaikan secara musyawarah atau melalui mediasi.
Masalah yang terlihat dalam siklus ini adalah titik di mana pemilik waralaba perlu mengajukan permohonan jaminan berakhirnya kontrak pendirian melalui pengadilan umum. Dalam proses di Peradilan Umum yang dapat diselang-seling, termasuk di Pengadilan Negeri, maka pada saat itu dalam hal ada pihak yang mengajukan bujukan kepada Pengadilan Tinggi, dengan anggapan telah dicatat kasasi dan pemeriksaan didokumentasikan dengan Kejaksaan. Pengadilan Tinggi, akan membutuhkan waktu lama agar keputusan tersebut dapat ditegakkan secara sah. Jika demikian, maka pada tahun-tahun ini franchisor yang ceroboh mungkin akan membuat kenangan panjang untuk tetap menggunakan citra franchisor untuk mempertahankan bisnisnya. Dalam kondisi ini, pemilik waralaba menjadi seperti tawanan strategi sah yang tidak menyenangkan.
Untuk menghindari bahaya yang disebutkan di atas, khususnya dengan pernyataan, konsep pengadilan intervensi yang konklusif dan cepat akan memberikan produktivitas waktu kepada franchisor untuk dapat segera mendapatkan kebebasannya.
Putusan arbitrase bersifat konklusif, menyiratkan bahwa itu hanya pada tingkat pertama dan tidak menerima permintaan atau kasasi dan akibatnya dapat dengan cepat sampai pada keputusan terakhir dan membatasi. Dengan mengajukan permohonan jaminan berakhirnya perjanjian melalui lembaga mediasi, dalam jangka waktu yang umumnya singkat pemberi waralaba akan mendapatkan pilihan yang membatasi sehubungan dengan berakhirnya kontrak pendirian, dan kemudian dapat melibatkan pilihan tersebut sebagai alasan. untuk mendokumentasikan tuduhan pidana mengingat Pasal 90 UU Hak Cipta.
Bagi pemilik waralaba untuk memutuskan untuk mengajukan permohonan jaminan akhir perjanjian pendirian kepada organisasi diskresi, kontrak pendirian yang dibuat antara pemilik waralaba dan pemilik waralaba harus menentukan intervensi sebagai pertanyaan pilihan tujuan (pasal 7, pasal 9 bagian 1 dan pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tujuan Mediasi dan Perdebatan Pilihan). Pasal ini sehubungan dengan syarat mediasi harus dibuat terlalu dan setepat mungkin sehingga kewenangan yayasan arbitrase untuk menyelesaikan kasus-kasus sehubungan dengan perjanjian menjadi jelas dan tidak disinggung.
Akibatnya dalam pemahaman yang mapan, ketentuan mengenai tujuan debat seringkali berubah menjadi persoalan yang berbeda. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Mediasi dan Pemilihan Tujuan Pertanyaan Pilihan, untuk hal ini majelis memiliki keputusan dalam memutuskan pembahasan tujuan debat. Sehingga putusan soal tujuan melalui diskresi bisa menjadi pilihan selain melalui pengadilan.
Akomodasi yang diberikan oleh peraturan intervensi ini termasuk, selain hal-hal lain, proses tujuan pertanyaan yang relatif lebih cepat, hemat dan menjaga privasi dari upaya pertemuan pertanyaan. Banyak pemilik waralaba yang tidak dikenal memutuskan untuk melibatkan ketentuan tujuan pertanyaan melalui pernyataan karena alasan bahasa, di mana melibatkan bahasa Inggris dalam pertemuan mediasi dalam menyelesaikan perselisihan dapat dibayangkan. Salah satu pertemuan diskresi terkemuka di Indonesia adalah Dewan Pernyataan Publik Indonesia.
Sejumlah besar pertemuan untuk pemahaman pendirian suka memilih pengadilan sebagai diskusi tujuan pertanyaan. Salah satu alasannya adalah karena dalam penyelesaian kebijaksanaan, jika majelis tidak menyetujui keputusan arbitrase, maka upaya terakhir tetap harus melalui pengadilan.
D. Perlindungan Hukum Para Pihak dalam Praktek Bisnis Waralaba
Untuk situasi ini, lebih bersifat rahasia, namun negara seharusnya ikut serta dalam memberikan keamanan yang sah kepada organisasi-organisasi mapan. Otoritas publik juga untuk situasi ini mengontrol beberapa pedoman sah yang ada untuk situasi ini, diversifikasi mencakup peraturan umum karena bersifat pribadi, hanya antara badan atau yayasan terkait yang mengatur hubungan hukum dan berakhir dengan hasil yang sah juga.
Sejalan dengan itu, berikut adalah beberapa pedoman hukum yang mengatur dalam hal ini adalah.
Pengaturan pasal 5 Undang-Undang Unres No. 42 Tahun 2007, pengertian pendirian pada pokoknya memuat keterangan yang menyertainya:
A. Nama dan alamat pertemuan;
B. Jenis keistimewaan inovasi berlisensi;
C. Latihan bisnis;
D. Hak istimewa dan komitmen pertemuan;
e. Bantuan, kantor, arahan fungsional, persiapan dan periklanan yang diberikan oleh pemilik waralaba kepada penerima waralaba;
F. wilayah bisnis;
G. Jangka waktu pengertian;
H. Metodologi untuk pembayaran remunerasi;
I. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak istimewa penerima manfaat utama;
J. Penyelesaian Sengketa; Dan
k. Cara dari Perjanjian hingga pemutusan perjanjian;
Selain itu, dimaklumi juga dalam Pasal 6 ayat (1) pengertian pendirian ini dapat memuat pernyataan pemberian hak kepada penerima waralaba untuk melimpahkan hak kepada penerima waralaba lainnya dan dalam ayat (2) ditegaskan bahwa penerima waralaba yang diberi pilihan untuk menunjuk penerima waralaba lain harus memiliki dan mengklaim sekurang-kurangnya 1 (satu) lingkungan usaha yang terdiversifikasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H