Ia menatapku dan tersenyum tanpa merasa takut ataupun bersalah. Bahkan ia tak mengeluarkan suara sedikitpun.Â
Aku bertanya lagi pada Deni, "Deni tidak suka ya, ibu mengajar pakai model pembelajaran ini?" Dia tersenyum lagi dan menggeleng. "Lalu kenapa Deni tidak memperhatikan ibu dan teman-teman saat belajar?" Tanyaku kembali.Â
Kali ini ia melihat sekelilingnya, semua teman-temannya sedang melihat ke arahnya. Lagi-lagi ia tersenyum, aku menarik nafas panjang untuk menahan emosiku. Ada sedikit rasa kesal melihat reaksinya karena tak satupun pertanyaanku dijawabnya. Aku pun meninggalkan Deni dan melanjutkan kegiatan berikutnya dengan siswa-siswaku yang lain. Meski di dalam hatiku masih banyak pertanyaan, "Ada apa dengan Deni?".
Keesokan harinya, aku masih mengulang model yang sama untuk pelajaran matematika. Karena aku merasa belum berhasil. Sambil memberi penjelasan dan membimbing siswa yang diskusi. Akupun mencuri pandang ke arah Deni, karena aku masih penasaran dengan sikapnya kemarin.Â
Betapa terkejutnya aku, lagi-lagi aku melihatnya sedang asyik sendiri, kali ini aku melihatnya bermain rautan temannya yang berbentuk mobil. Aku coba untuk membuyarkan konsentrasinya dengan memanggil namanya. Deni kaget melihat ke arahku. Tapi ia kembali memberikan senyum manisnya.Â
"Ya Tuhan, kenapa dengan anak ini?" Ucapku lirih.Â
Teman-teman Deni tertawa riuh melihat aku garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal dan tertutup jilbab panjangku.Â
Aku mendekati Deni dan menanyakan hal sama seperti kemarin. Tapi aku tak mendapat jawaban apa-apa, hanya senyuman.Â
Mungkin kalau ada lomba memberi senyuman terindah, maka Deni lah pemenangnya.
Beberapa hari aku perhatikan Deni terus begitu, aku sedang memikirkan bagaimana menghadapi anak seperti ini.Â
Saat istirahat, semua anak bermain di luar kelas, aku masih menyibukkan diri dengan mencari bahan gambar di laptop untuk pembelajaran esok hari. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara di belakangku.Â