Pada seperempat malam ini, bulan  di langit enggan menampakkan wajah bulatnya. Namun sinarnya sampai juga ke bumi walau sedikit. Hingga cahayanya itu tampak memantul pada barisan ilalang di sekitar area persawahan.
Di antara ilalang itu terlihat mencolok bayangan hitam serupa lelaki setengah tua yang sedang duduk di rerumputan dengan gestur termenung. Ia ditemani sebatang sigaret yang  nyala apinya memercik terembus angin meski tidak dihisapnya, lalu... .
Ia berbisik pada bulan, ia mengadu pada katak, dan ia bicara pada tonggeret.
"Sudah separuh tua ini tidak ada yang peduli padaku lagi. Juga istri juga anak-anakku. Apalagi teman. Aku sekarang hidup susah dan ingin sembunyi saja dari semua orang di sini. "
Tengah malam pun tiba. Suasana jadi hening jempling. Â Hanya dirinya saja yang kini mulai berbaring di antara tingginya ilalang. Namun ajaibnya, bulan seakan mendengar bisiknya tadi, dan selanjutnya terang pun datang dengan tiba-tiba di area sekitar. Â
Katak dan tonggeret juga demikian. Anehnya lagi, mereka justru menyambut dan menyaringkan suaranya seolah menjawab dan menenangkan isi hati lelaki setengah tua ini, sekaligus menghibur keresahannya.
Tapi sayang, Â respon lelaki ini malah sebaliknya. Ia tidak senang dan memarahi semua dan semesta yang hidup ini.
"Bulan sial! Binatang bodoh! " katanya.
Hati kecil dari keinginannya untuk sembunyi  jadi batal. Karena malam ini malam ketujuh dari pelariannya. Ia sudah merasa lelah. Ia sudah diburu oleh aparat secara masif akibat kelakuannya yang keparat. Â
Akhirnya ia pun urung sembunyi di area persawahan ini dan berlari terus berlari sampai perkara korupsinya hangus dibawa mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H