Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secarik Kertas di Dekat Pusara Ayah

22 Oktober 2024   09:20 Diperbarui: 22 Oktober 2024   09:49 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku tidak ingin mengenangmu kembali.  Semua sudah jalanNya menetapkanmu untuk berada di sisiNya. Andaikan daun yang jatuh di musim penghujan itu tumbuh dan bunga-bunga kamboja berbaris rapi di sekitar pusaramu itu sungguh tiada lagi yang menarik bagiku.

 Pepohonan, dedaunan dan bunga-bunga di sana kini sekadar penghias mata. Aku tuliskan ini untuk menegaskan padamu bahwa tapak dan langkahku di sini telah meninggalkan jejak agar kaumau mengerti. 

 Tapi ah sudahlah kausudah mati. Pasti tidak bakal tau dan mengerti tentang kehadiranku di sini. Asal kautahu, ini kunjungan terakhirku di pusaramu. Jangan kauuji kembali kesetiaanku ini.  Jangan lagi bertanya aku kini dengan siapa. 

Tampak secarik kertas yang kusam yang tergolek lusuh di area pemakaman dekat pusara ayahnya itu diambilnya, lalu dibacanya sungguh-sungguh. Tiap baris kata disimaknya dalam-dalam. Satu pertanyaan muncul di kepala. Siapa yang menulis ini?Untuk pusara yang mana?

"Ada apa, Kak?Kertas apa itu?"

Dewi lalu menyodorkan pada adiknya, dan Ratih memegang sobekan kertas itu yang dibaca sekilas olehnya lalu dilemparnya begitu saja.

"Bukannya doa malah menulis,"gerutu Ratih yang didengar Dewi tanpa suara balasan.

Keduanya lalu meninggalkan area pemakaman usai menyambangi makam ayahnya itu sembari menoleh sesaat untuk menatapnya dari kejauhan. Disusul angin yang berembus perlahan dan sejuk yang menerpa semua yang ada di area ini, termasuk keduanya.

Seolah desiran angin itu memberi pesan dari semua jasad yang terbujur kaku yang terpendam di dalam tanah pada mereka,"terimakasih atas doa-doa yang telah disampaikan."

 ________

Di kediaman orang tua Dewi, dan Ratih tiada suara. Hening berlaku sementara. Tiada satu kata pun yang terucap padahal kepastian tanggal sangat menentukan bagi rencana pernikahan ini. Deru suara kendaraan dari luar ruang tamu ini taklagi mampu menepis kebuntuan dari apa yang sedang diperbincangkan.

"Semua keputusan ada padamu, Nak. Tanggal ini mestinya sudah dibicarakan sebelumnya dengan Kroto,"tutur ibunya Dewi meyakinkan putrinya yang belum juga memutuskan tanggal pernikahan dengan pasti, meski pada hari tunangan yang lalu telah ada kesepakatan tanggal sebagai alternatif.

Dewi hanya terdiam, dan belum ada keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya. Ia sebenarnya telah memutuskan untuk tidak jadi menikah dengan Kroto.

Hal ini telah ia sampaikan secara langsung di hadapan lelaki itu beberapa waktu lalu. Tentu saja Kroto terkejut dengan keputusan tersebut. Apalagi kedua orang tua mereka telah bulat dan sepakat acara pernikahan keduanya dilangsungkan secara adat dari kedua pihak.

Namun begitu, Kroto dan keluarganya mengalah atas keputusan Dewi. Bagi keluarga Kroto, suatu pernikahan yang suci tidak mengandung unsur paksaan maupun sembarangan.

Karena bila dipaksakan dipastikan tidak akan berjalan kehidupan rumah tangga yang tenang, dan tentram. Sebaliknya Dewi, masih saja tidak mengutarakan hal yang sebenarnya ini.

Sampai akhirnya ia katakan hal sebenarnya itu pada ibunya.  Katanya, ia hanya ingin menikahi lelaki yang bukan seorang duda seperti Kroto. Kendati ia sendiri telah sembunyikan harapan hatinya pada bayangan seorang lelaki yang menulis di secarik kertas yang ditemukan di area pemakaman dulu itu.

Ibunya pun sebagaimana ibu kebanyakan tetap menghormati keputusan itu walau di dalam hati dan pikirannya tetap saja merasa malu pada calon menantu, dan besannya tersebut. Tapi apa mau dikata, beras sudah menjadi ketupat.

Sejalan waktu, kehidupan keluarga dari kedua pihak pun masing-masing sudah berjalan dan melupakan semuanya. Namun bagi Dewi, pikirannya masih saja berkisar pada secarik kertas yang ia temukan saat ziarah di pemakaman ayahnya ketika itu.

Sementara, Kroto berusaha untuk melupakan isi hatinya yang pernah ia tulis di secarik kertas dulu yang ia letakkan di atas pusara mendiang istrinya. Ia ingin mengunjunginya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun