".. aku pernah mendengar katanya cinta bisa pudar. Tidak menyala lagi. Bahkan cendrung redup bila diawali bukan oleh kesadaran emosional dan rasional di dalam memutuskan suatu pilihan.
Atau cinta datang karena dituntun oleh spiritualitas yang berlebihan dalam diri seorang wanita sepertiku sehingga rasionalitas dilempar ke tong sampah. Mungkin saja.
Tapi aku peroleh juga rumus tentang cinta dari literatur bahkan pujangga relijuis bahwa cinta adalah kehendak nurani yang tidak bisa dibohongi.
Bila nurani bicara demikian maka cinta antara dua hati akan menemui jalannya. Semua itu konon sudah ketetapan ilahiah. Atas dasar itu aku pun tidak pernah berkhianat atau selingkuh atau tidur dengan lelaki lain. Sekarang justru aku ragu atas semuanya itu.
Bagiku cinta cuma dinding dengan pagar jeruji besi yang kemana pun arah langkah dituju tetap membentur. Ketetapan ilahiah pun cuma sementara saja berlakunya.
Yang berlaku saat ini kesadaran nyata yang ada dihadapan, yakni anak-anak, buah cinta dulu, antara aku dan suami yang pengangguran itu.
Sekarang yang ada di hati cuma rasa kasihan semata pada suami yang tidak punya kemampuan apapun selain bikin anak.
Bagaimana yang disebut suamiku ini bisa memenuhi kebutuhan anak, istrinya? Bagaimana nasib anak-anak kelak bila aku tinggalkan suami yang tidak berguna itu?
Sejak di PHK tanpa pesangon akibat pabrik tekstilnya bangkrut, ia pun meninggalkan hutang cicilan mobil yang akhirnya ditarik kembali oleh leasing. Ia pun kehilangan kepercayaan diri seketika.
Jangankan kembali bangkit untuk memulai usaha, sekadar mengantar anak-anak ke sekolah saja bukan main malasnya.
Rasanya aku ingin melemparnya ke jalan sebagaimana dulu pernah aku intip ia sedang mengamen di muka warung makan. Sebelum akhirnya aku beranikan diri untuk mau menemuinya berkenalan dan berlanjut hubungan kemudian.
Karena suaranya itu bagus dan kuanggap punya bakat, aku berani bertaruh atas masa depanku. Tapi ternyata lelaki ini cuma seonggok daging yang cuma bisa menanam benih ke rahimku.