Baru satu bulan menghirup udara bebas dan segar di desanya yang tiap lebar jalan dipagari pepohonan rindang itu, Bahar menerima aduan warga kampung sebelah. Padahal ia sedang santai sembari melinting tembakau di gubuk kecil bekas pos ronda di sisi jalan.
Sebagai mantan napi yang mendekam hampir 12 tahun akibat perkara pembunuhan yang tidak disengaja, ia pun cermat dan menyimak laporan  dua orang warga itu. Setelah beberapa saat mereka berbasa-basi.
Kata seorang warga melanjutkan," tindakannya kadang dilakukan secara berkelompok. Tapi lebih banyak sendiri. Sendiri ini pun sangat merusak kedamaian kami."
Bahar mengernyitkan kening. Tanda ia serius dan apa yang diceritakan warga sudah menyinggung harga dirinya.
Ia berpikir siapa orangnya yang tidak mengenal Bahar, yang memergoki dan membela diri atas perampokan di rumah seorang janda kaya di desanya, hingga perampok yang seorang diri itu bersimbah darah, mati.
Karenanya mengenang ketika peristiwa itu terjadi, ia ambil resiko untuk bertahan. Dan, dari tiga kali sepakan, dan satu tinju ke arah rahang darinya membuat perampok itu limbung.
Di saat perampok itu menghunuskan goloknya, ia berkelit sebentar, lalu menangkap pangkal lengan tangan kanan perampok itu, dan membalikkan golok itu ke arah perutnya.
"Nanti malam kita semua berkumpul di pinggir sawah,"tegas seorang warga lagi taksabar sehingga membangunkan pikiran Bahar yang sedang melayang-layang mengenang kehebatan dirinya.
"Kita kompak di sana!"teriak dua orang warga ini berbarengan.
Satu orang dari warga itu pun kemudian mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Bahar.
"Kalau berhasil membunuh mereka, ada bayarannya."