Namun ia tidak kapok dan selalu memohon bantuan pada sipir atau kepala penjara agar ia diusahakan untuk mendapatkan pengurangan hukuman.
Jawabnya pun selalu sama. "Tidak ada remisi lagi untuk koruptor."
Bathinnya jika tidak ada remisi maka tabungannya yang disimpan oleh anak dan istrinya akan habis untuk menghidupi dirinya di penjara ini.
Padahal tabungan itu hasil usaha kerasnya bekerja selama ini, bukan dari hasil korupsi. Hasil korupsi separuhnya ia amalkan untuk pembangunan mushola, panti asuhan, bantuan alat olahraga, klinik kesehatan, juga pembangunan lapangan olahraga.
Ia ingin bantuan darinya untuk kampung kelahirannya itu juga maju seperti kampung di daerah lainnya.
Uang korupsi ia simpan sebagian bukan di tabungan, tapi di rekening keluarga dan kerabat untuk bekal hari tua. Ia punya keinginan untuk insaf dan pergi ke tanah suci kelak.
Tengah membayangkan sembari berbaring itu, pesanan makan siang yang dipesan pun datang. Ia kupas bungkusan itu, dan sama persis sebagaimana keinginannya.
Kata koleganya itu,"kepala penjara akan pensiun satu tahun lagi, Pak."
"Kata siapa?"
"Sipir memberitahu tadi."
Koleganya meninggalkan bilik tahanan, dan ia makan tidak dengan tenang. Ia berhitung tiga tahun selama di ruang ini sudah ia habiskan hampir mencekik lehernya untuk biaya hidup di sini. Bagaimana dengan kepala penjara yang baru nanti?