Ada keramaian di sana bagai lalat yang melayang-layang di atas tumpukan ikan. Ikan-ikan segar yang seolah dijajakan pedagang di pasar tradisional.Â
Keramaian itu berkerumun bagai semut-semut merah yang mengelilingi remah-remah gula pasir yang memiliki rasa ekstra manis.Â
Kerumunan dan keramaian itu saling sorak membahana sebagai tanda ikatan satu sama lain yang gilang gemilang.Â
Namun tampak semua itu semu dan tidak lama adanya.Â
Ikatan sebagai isyarat mula-mula bersatu itu terurai kemudian. Tidak lagi menjadi kerumunan.Â
Oleh sebab keakuan dan saling butuh pengakuan telah mengubah kebersamaan.Â
Satu-satu dari mereka ingin diunggulkan oleh teman, dan oleh orang-orang yang ramai dan berkerumun itu, lalu pelan-pelan ada yang segera menjauh.Â
Tapi ada seorang gadis yang tidak mau peduli dengan keramaian dan kerumunan itu.Â
Ia Lebih memilih menjauh dan menepi sembari melatih diri untuk tidak terjebak terhadap sesuatu yang belum tentu pasti.Â
Keramaian dan kerumunan itu baginya telah mengusik rasa dan sikap untuk tetap selalu berhati-hati.Â
Bukankah menepi itu sesuatu yang lumrah dan wajar bagi orang yang tidak ingin turut campur pada hal yang kelak potensial membuatnya luka?