Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Nasib Para Petaruh

7 Desember 2022   07:36 Diperbarui: 19 Desember 2022   22:15 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hukuman judi bola. Sumber: ThinkstockPhotos via Kompas.com

Dua ekor nyamuk melayang-layang di atas kepala gundul mas Ji. Sementara ratusan laron mengerubuti lampu neon di atas plafon.

Mas Ji sedang bersandar di dinding bata terkelupas sembari mengutak-atik angka di secarik kertas. Pulpen terlihat dijepit oleh  jari telunjuk dan jari tengah sebab jempolnya hilang. Cuma kelihatan keriput terlipat-lipat sisa dagingnya di bekas jempolnya berdiri.

Tentang jempolnya itu, kata mas Ji, pada orang-orang yang bertanya padanya, jempolnya buntung akibat terhimpit mesin plat baja di pabrik ketika ia bekerja dulu.

Tapi lain lagi cerita tetangga yang sudah lama kenal mas Ji.  "Jempolnya buntung untuk lunasi hutang judi."

Entah mana yang benar yang jelas memang jempolnya mas Ji tidak ada. Ia terlihat agak kesulitan saat menggunakan pulpen berwarna merah itu.

Di sampingnya secangkir kopi manis panas yang barusan dipesan dari warung sebelah petakan rumahnya yang Ia sewa. Soal kopi manisnya, mbak Tun pemilik warung sudah berulangkali ingatkan mas Ji kalau minum kopi tidak dengan gula pasir.

Katanya, "kalau bisa tanpa gula sebab kuatir diabetesnya kumat, dan langsung drop seperti tempo hari yang bikin repot tetangga."

Mas Ji, bukannya terima kasih, malah bilang, " lagian kenapa ditolong."

Perihal kopi panas, ia tidak seruput lazimnya orang-orang, tapi ia langsung minum seperti kehausan atau malah mirip minum air mineral.

Saat itu sudah setengah cangkir ia tandaskan. Sisa setengah lagi  ia biasa minta mbak Tun untuk mengisi ulang dengan air termos.  Kadang jika kopi manisnya habis sekalian ampas kopinya juga ia telan.

Tapi meski begitu tetangga di pemukiman kumuh ini sangat percaya pada mas Ji. Ia pernah diminta untuk jadi pemegang uang taruhan bola saat final piala Eropa dulu.

Tapi sebelum uang itu dipegang mas Ji, ia sudah wanti-wanti, sekaligus bilang, pasang taruhan cuma untuk skor saja. Kalau skor tidak ada yang tepat tebak, maka uang taruhan yang ia pegang jadi miliknya. Kalau ada yang menang, mas Ji hanya bilang, terserah saja untuk memberi atau tidak.

Semula banyak yang protes, tapi ketimbang tidak ada yang dipercaya, akhirnya semua sepakat. Mas Ji pegang juga uang itu dari sepuluh orang yang taruhan  ada uang 20 juta.

Makanya ia utak atik catatan dari para petaruh tadi. Para petaruh yang sudah memberikan catatan skor yang ditebaknya. Tapi dari 10 orang ini, hanya satu yang tidak memberikan catatan. Makanya kemudian ia WA.

Tapi jawaban petaruh itu saat membalas, ia tidak pasang skor, tapi ikut mas Ji saja.  "Kalau tidak ada yang menang bisa dibagi dua," begitu memastikan.

Mas Ji setuju, tapi petaruh ini dimintanya untuk tutup mulut. Walhasil skor final 6-5 dari tendangan 12 pas setelah 0-0 hingga perpanjangan waktu. Dan kemenangan ada di negara B. Para petaruh tidak ada satupun yang menang.

Karuan uang itu jadi milik mas Ji, dan petaruh yang satunya itu. Maka dibagi dua. Tunai.

***

Tapi untuk piala dunia sepakbola 2022 di Qatar ini belum ada tanda-tanda tetangga untuk taruhan saat final nanti. Padahal mas Ji sudah siaga.

Usut punya usut rupanya para petaruh semua itu saat pertandingan final piala Eropa dulu uangnya hasil pinjaman. Beruntungnya yang satu orang sudah melunasi.

Dengar-dengar mas Ji lagi dari mbak Tun, mereka semua nekat. Ada sembilan orang yang hutang tapi satupun belum ada yang bayar. Kata mbak Tun lagi, "jempol mereka bakal dipotong. Itu kesepakatannya!"

Mas Ji melirik pada jempol kanannya yang hilang, dan terasa bulu kuduk di sekujur tubuhnya itu berdiri seketika mengenang nasib yang sama yang ia pernah alami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun