"Ibuku sakit keras,"kata ayah pelan pada ibu yang sedang duduk dan mengaput untuk menambal kolor bergaris biru muda punyaku di malam itu.
"Kabar dari siapa?"
"Mang Tuman. Ia memberikan surat ini,"ucap ayah lagi sembari menyodorkan pada ibu.
Ibu seketika membaca, dan keningnya berkerut tanda serius apa yang diderita nenekku di kampung sana.
Aku masih memperhatikan ayah dan ibu berbincang di ruang tamu sembari menyelesaikan pekerjaan rumah matematika kelas tiga dari sekolah. Sementara ke dua kakakku sedang ada di kamar.
Entah apa yang dibicarakan. Aku masih bisa melihat ibu menarik napas panjang, dan ayah seperti kebingungan. Sesaat kemudian ibu keluar rumah di malam itu untuk menemui tetangga yang juga masih saudara.
Sekitar 15 menit ibu kembali.
"Saudaraku sedang kosong, katanya,"ibu mengatakan itu dengan sikap lemas, tapi kemudian bilang pada ayah sembari melangkah ke dalam kamar untuk memberitahu sesuatu.
Ayah mengikuti.
Ibu bilang," ini kalungku masih kusimpan. Mas kawin dulu darimu."
Ayah memintanya jangan. Simpan saja itu untuk yang keperluan yang lebih penting. Tapi ibu tetap memaksa.