Dikeheningan pagi itu tiada suara yang bisa aku dengar. Matahari belum muncul menerangi. Fajar pun baru terlihat jingga dari balik jendela bergorden merah marun.
Aku seperti tuli. Hanya sorot cahaya lampu yang menerangi kamar ini.
Dari keheningan itu juga yang bisa aku dengar suara ibu, dan nenek yang saban hari membisiki tentang kebutuhan rumah tangga.
Kebutuhan rumah tangga yang seharusnya bukan aku yang memenuhi kemauan mereka. Mulai dari rumah yang perlu dibayar tiap bulan sewanya. Sandang, bahkan pangan.
Juga rekreasi yang tentunya membuat dadaku sesak, dan ingin berteriak, lalu pergi meninggalkan mereka. Tapi aku juga tidak tega melihat derita mereka bila tulang punggungnya ini menjauh.
Aku ingin mengadu. Tapi pada siapa?Kepada Tuhan?Aku tidak lagi mengenalinya. Pada bapakku?
Bapakku entah kemana, tiada cerita sejak aku lahir di muka bumi ini. Â Kata ibu, kabur meninggalkanku, dan ibu untuk perempuan lain yang tidak dikenalnya.
Seharusnya di pagi jelang shubuh ini aku bersiap untuk sekolah. Menyusun, dan menata buku pelajaran yang bakal disiapkan untuk  pelajaran hari ini. Lalu aku bersama teman menyusuri jalan, atau  membonceng motor kawan menuju sekolah bersama-sama.
Tapi tidak demikian. Teman-teman sudah tidak mengenaliku lagi. Mereka menjauh, aku bukan bagian dari usia sebaya mereka. Kata mereka, aku lebih dewasa dari usiaku.
Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan. Aku tetap menganggap mereka adalah teman, dan sahabatku. Teman-teman sekolah yang setidaknya bisa memberi ketenangan bathinku untuk aku mencurahkan segala apa yang aku alami.
Namun justru mereka semakin menjauh setelah aku mengisahkan semua yang aku jalani demi kehidupan kami ini. Aku taktahan, dan takkuat lagi akhirnya bersama mereka.