"Semua sudah diputuskan. Kami sepakat untuk Karen semua harta ini."
"Tolonglah. Karen itu cuma anak angkat, kita semua tidak tahu asal-usulnya. Aku, juga istriku, bukan mengharapkan bantuanmu, cuma anak-anakku masih panjang jalani hidupnya. Enam anak, aku sudah pusing untuk biayai semua kebutuhannya."
"Lho, apa aku tidak cukup untuk membantu keluargamu,hah?"Olive sedikit meninggi mendengar pengakuan Brutus.
"Bukan begitu. Aku terima kasih sekali dengan bantuanmu. Tapi ya jangan sekarang warisan itu dilimpahkan pada Karen. Ia masih anak-anak."
"Tidak. Sejak sekarang kami sudah bulat. Usia siapa yang tahu. Nanti kami akan melegitimasinya segera,"ucap Olive tegas mengakhiri perbincangan itu.
Brutus kemudian pergi dari kediaman Olive, sembari menatap tajam pada Karen yang sedang berlatih piano, meski Karen menganggukkan kepalanya sebentar pada Brutus. Justru Brutus malah seperti membuang air liurnya ke pot tanaman yang ada di dekat piano. Benci sekali.
Dikediamannya Brutus bilang pada istrinya semua harta yang dimiliki kakaknya bakal diserahkan pada Karen segera. Padahal ia sangat berharap pada harta itu meski sedikit Olive kelak bisa memberikan untuk kebutuhan keluarganya. Sebagai adik lelaki satu-satunya pada siapa lagi ia bisa meminta bantuannya itu.
"Apa tidak ada cara lain untuk menggagalkan rencana itu?"tanya istrinya memaksa setelah mendengar penuturan kecewa Brutus panjang lebar.
"Kamu ada ide?"tanya Brutus menimpali.
***
Hari Senin tuan, dan nyonya Jenggo hendak melakukan perjalanan bisnis seperti biasanya. Mereka datangi Karen usai sarapan pagi, dan bilang.