Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Secangkir Kopi dan Tiga Botol Serupa Bir

30 Juli 2022   23:21 Diperbarui: 30 Juli 2022   23:29 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Orang tak mau terpenjara pikirannya

Maka ia bicara untuk  membebaskan

Supaya remah-remah jorok yang melilit di benak terpendar

Di sini butuh orang lain yang mau mendengar

Ketika itu di mulai tuangkan serupa botol  bir pada gelas besarnya yang retak yang sudah tersaji

Lalu dengarkan

Kata-katanya runtut, teratur, dan logis

Tentang hidup yang dicita-citakan

"Kau pendengar yang baik,"katanya memuji sambil tandaskan gelas pada botol  pertama

Botol ke dua kembali dituangkan ke dalam gelas

"Terima kasih,"katanya

Sebatang kretek pun ia nyalakan, hisap, dan hembuskan asapnya

Mengalir kata-katanya yang tersekat

Oleh cerita tentang istrinya yang tak mau dimadu

Padahal banyak alasan mengapa harus merencanakan dan melakukan hajat ini

Sampai di sini ia undur diri sebentar

"Permisi mau kencing."

Pendengar anggukkan kepala, seraya menuangkan gelas kosong yang berbuih

Tiga botol serupa bir yang dipesan sudah tunai

Kini gelas yang terakhir yang siap pula untuk dihabiskan

Ia duduk tenang

Mulutnya mengambil ancang-ancang

Tidak untuk bercerita, tapi bertanya pada pendengar

"Kenapa tak kau minum botol yang ke tiga ini?"

"Tiga botol itu punyamu, aku secangkir kopi ini saja."

Sejenak tak ada suara

Ia mengalah, gelas terakhir itu juga ditenggaknya sampai kering

Ia pun mulai berkata-kata

Bukan mengalir bercerita  tapi tumpah oleh caci maki pada semua yang dialami

Memang  nyata  yang mengganjal dipikirannya sudah bebas, dan lepas

Tapi resikonya sempoyongan, matanya merah, dan pipinya dirasa tebal

Perutnya juga mual

Orang yang setia mendengar jadi tersenyum, dan  segera menggandengnya pulang

Secangkir kopi tanpa sisa ditinggalkan tanpa harus dirinya terhuyung-huyung berjalan

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun