Tapi sayang sekali, aku sesungguhnya kecewa padamu kala itu. Saat aku datang, kulihat kau ada di sisi lelaki sebaya denganku. Terlihat mesra, dan bahagia.
Kamu pun memintaku untuk memainkan gitar, dan menyanyikan lagu, untukmu, lelaki itu, dan juga teman-temanmu. Setengah terpaksa, aku turuti kemauanmu.
Petikan gitar, suara dentingnya dan lagu yang kunyanyikan sebenarnya ungkapan rasa kecewaku di malam itu. Di luar dugaan, kamu justru menatap dalam ke arahku, dan aku tertunduk, malu.
Pikirku aku terlalu banyak berharap untuk menjadikan kamu seorang yang aku sayangi. Aku pulang kemudian dengan sejuta amarah dalam diam.
Tiga bulan lamanya rasa itu aku pendam, dan aku tidak mau lagi menemuimu, untuk alasan apapun.
Aku kembali ke kediaman orangtuaku akhirnya. Namun apa yang aku rasakan? Semakin dipendam rasa itu justru semakin larut pada bayang-bayang wajahmu, tutur kata lembut, dan ungkapan kata yang mengajakku untuk selalu optimistik menjalani hidup. Aku ingat itu, dan menyimak dalam-dalam seolah nasehat itu untukmu sendiri, dan juga aku. Sungguh aku menyintaimu teriak bathinku!
Siapa sangka, suatu malam dering telepon berbunyi, dan angka itu tidak aku kenali. Dari ujung telepon suara lelaki mengabarkan bahwa kamu sakit, dan kini di rawat sudah tiga hari lamanya. Ia pun spontan bilang, aku sangat dibutuhkanmu.
Tanpa pikir panjang, dari luar kota ini pula aku menuju rumah sakit di mana kamu dirawat. Aku pun tiba, dan melihatmu terbujur lemah di pembaringan ruang ICU. Di sekitarmu keluarga ada untuk menghiburmu. Kamu terkejut, juga keluargamu yang sudah mengenaliku.
"Siapa yang mengabarimu?" Tanyamu padaku.
Aku jawab sembari mendekat, dan bisikan nama lelaki itu. Kamu tersenyum lemah merespon bisikanku itu.
Sejak itu pula aku selalu berada di sisimu. Kunyanyikan lagu, juga semua hal tentang harapan untuk kesembuhanmu. Kamu kembali tersenyum, dan hati kecilmu pun perlahan mulai terungkap.