Prediksi alam tiada satupun yang bisa memastikan, meski alat teknologi sudah serba digital. Hanya kemungkinan-kemungkinan yang selalu muncul sebagai jalan keluar. Dan, biasanya pula ada yang benar terjadi dan yang tidak sama sekali terjadi. Potensi dan peluang digambarkan dengan angka lima puluh lima puluh.
Bila apa yang dimungkinkan terjadi maka secara naluriah ia senang, tapi sebaliknya pasti kecewa dan muram. Ini juga bisa diartikan sisi spekulatif manusia terhadap kondisi alam.
Manusia yang selalu spekulatif pada kondisi alam, juga manusia yang secara alamiah mengunci dirinya pada sesuatu hal yang dipandang menguntungkan atau merugikan.
Ia akan merasa beruntung misalnya, manakala salah satu koin yang memiliki dua sisi itu dilemparkan ke atas, lalu jatuh dengan gambar tertentu yang telah ia duga sebelumnya. Sebaliknya juga begitu, akan merasa rugi bila bukan gambar yang ditebaknya. Untung dan rugi terhadap sesuatu itu kalkulasi manusia yang sudah terbiasa hidup di dunia yang penuh persaingan.
Untuk bersaing maka manusia membutuhkan segala daya upaya yang ada pada dirinya, pada kelompoknya, pada masyarakatnya, dan pada negaranya.
Terhadap dirinya, manusia akan meningkatkan kapasitas intelektual sebagai modal utama untuk mengatasi persaingan itu. Sementara pada kelompoknya ia akan menunjukkan superioritas intelektual melalui ujaran yang mampu meyakinkan orang-orang di sekitarnya.
Sementara pada masyarakatnya, manusia yang ingin unggul dalam suatu persaingan akan mendayagunakan segala modal intelektual yang dipunyai untuk tujuan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Pola pikir suatu masyarakat dipandang sebagai jalan untuk meraih kemenangan dalam suatu persaingan, apapun itu.
Dari manusia yang mendayagunakan diri, kelompok, dan masyarakatnya, juga terikat oleh keinginan untuk mampu melakukan persaingan pada tingkat negara bangsa. Persaingan semacam ini ada pada tingkatan kepemimpinan nasional. Tiap negara, kecuali monarchi, senantiasa hadir kontestasi kepemimpinan nasional yang melibatkan masyarakat luas.
Sampai di sini, kontestasi semacam itu bukan hanya sekadar saling mempengaruhi satu sama lain, namun juga dibutuhkan modal luar biasa besar. Modal yang berupa biaya, koneksi, janji-janji, juga improvisasi politis.
Dalam hitungan waktu kemudian, pemimpin yang lahir dari proses kontestasi di negara demokrasi kebanyakan akan menjalani roda pemerintahan yang dikelilingi oleh arus kompetisi global atau persaingan pada tingkat internasional.
Pada tingkat internasional, persaingan sudah dikelompokkan pada hitungan ekonomik, teknologik, dan matematik. Siapa yang diklasifikasikan sebagai negara maju, berkembang, dan belum berkembang barangkali telah didefinisikan berdasarkan hitungan dan kemauan sekelompok elit manusia yang ada di negara-negara maju yang ingin menguasai pasar dunia.
Persaingan, bagi sedikit manusia ini ditunjukkan dengan berbagai cara yang tujuannya adalah kemenangan. Kemenangan atas segala yang ingin diraihnya, termasuk peradaban.
Suatu peradaban umat manusia dari suatu bangsa dan negara akan rontok  oleh lahirnya suatu kemenangan. Yang menang sertamerta sebagai pemilik peradaban baru. Yang tentunya untuk meraih hal itu bermodalkan kekuatan ekonomi dan kekuatan prajurit serta teknologi senjatanya.
Oleh karenanya tiada persaingan tanpa kemenangan dan kekalahan milik suatu negara bangsa yang tidak mampu bersaing di segala sektor. Dan hal itu kentara terlihat dalam perang Ukrania-Rusia sebagai negara bangsa yang ingin mempertahankan peradabanya, serta yang ingin menguasai peradaban itu di pihak lain.
Setelah itu sudah kentara, maka persaingan itupun beralih pada kelompoknya. Pada kelompok ini maka persaingan akan ditunjukkan dengan cara-cara yang lebih ekstrim untuk meraih kemenangan. Siapa yang lebih unggul dan superioritas juga yang paling kuat di antara kelompok itu bakal ditunjukkan lewat jalan peperangan misal NATO dan SCTO.
Peperangan sebagai jalan untuk meraih kemenangan dan menguasai peradaban sesungguhnya sudah diprediksi oleh filosof Nietzsche yang menyebut kira-kira, "bukannya kekuatan logika tetapi logikanya kekuatan untuk menjadi negara superior."
Jadi tak heran apabila muncul masalah-masalah dalam pergaulan antarbangsa tidak diselesaikan lewat jalur perundingan yang konsisten, pemungutan suara, atau retorika sebagaimana telah dijalankan selama ini..
Tetapi diselesaikan lewat jalan darah dan baja, sehingga peperangan yang terjadi itu dipandang sebagai gejala yang wajar bagi negara-negara dengan klasifikasi negara maju tersebut.
Bagi negara dengan klasifikasi sebagai negara berkembang, dan belum berkembang yang berdaulat, konstitusi yang dibuat barangkali tidak seagresif dan militan seperti konstitusi negara-negara maju. Konstitusi mereka ini banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir masa lalu, dan pengalaman perjalanan bangsanya yang heroik sehingga dijadikan justifikasi atas sikap politik untuk perang.
Sedangkan bagi negeri berkembang, pilihan bertahan, tidak bersekutu dan damai itu sampai kapanpun sebagai puncak peradaban yang sesuai dengan cita-cita umat manusia.Â
Namun begitu sikap tersebut tetap saja ada di pusaran kata-kata yang mendunia, bahwa damai di suatu negara itu semata-semata manifestasi persiapan untuk terjadinya perang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H