Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumpah, Sumpah Serapah

30 Mei 2022   12:29 Diperbarui: 30 Mei 2022   12:42 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Publik hanya bisa menilai saja, dan saling bercakap di pinggir jalan, atau warung kopi, atau tempat lainnya secara santuy tanpa pretensi apa-apa. Sekadar bahan obrolan biasa. Dan, yang luar biasa bila muncul suatu perkara yang diwartakan media massa yang melibatkan pejabat publik atau aparatur sipil negara atau ASN sebagai tersangka, maka publik sering bertanya-tanya.

Mengapa mereka secara sadar mau melibatkan diri pada hal-hal yang buruk itu?

Sebagai ASN atau pejabat publik lainnya tentu saja mereka telah disumpah untuk setia pada negara dan bangsa. Apalagi kelaziman ketika mengucapkan sumpah itu diletakan di atas kepalanya suatu kitab suci. Kitab suci di atas kepala mereka seolah memayungi derap langkahnya di dalam mengemban tugas sebagai abdi negara.

Begitu pula aparat penegak hukum, entah itu polisi, jaksa, hakim atau bahkan pengacara. Tidak lepas dari sumpah menyumpah. Yang bersumpah tentu sudah mempertimbangkan konsekuensinya, sudah pula bersaksi untuk kitab sucinya atas sumpah yang diucapkannya. Demikian pula yang memandu sumpah itu, ia juga bersumpah untuk diri dan jabatannya. Juga kitab sucinya.

Sumpah bagi segelintir dari mereka barangkali sebagai suatu kelaziman atau protokoler yang tidak punya arti apa-apa. Tapi bagi yang lain boleh jadi suatu ikatan yang mempunyai konsekuensi yang berdimensi maslahat serta mudharat.

Bagi umat Islam yang meyakini ada kehidupan sesudah mati, maka sumpah yang diucapkan di mana sekaligus diletakan di atasnya kitab suci sungguh bikin merinding. Di sini ada pengawasan melekat yang kelak dari tiap kalimat yang diucapkan bakal dimintai pertanggungjawaban..

Bandingkan dibanyak orang yang bekerja tidak di bawah sumpah. Mereka boleh jadi bisa semaunya, bisa seenaknya, dan bisa pula tertib dan teratur. Semua tergantung suasana hatinya. Semua bergantung pula pada isi kesepakatan di antara mereka atau kesepakatan dengan institusi lain atau perusahaan. Mana yang boleh, mana yang di larang, Cuma itu intinya.

Sementara mang Kardi, misalnya tukang pikul air minum yang mendorong gerobak yang kerap ditemui di sudut Jakarta ini berkeliling mengurus kebutuhan air minum konsumennya, tidak bekerja di bawah sumpah.

Ia bekerja dengan setia dan sungguh-sungguh, serta tidak ingin mengecewakan pelanggannya. Ia hadir tepat waktu dan tepat guna sehingga pelanggannya puas. Ia tidak mengenal sumpah ketika mewakafkan dirinya memilih profesi sebagai tukang pikul air dengan gerobak dorong. Ia bekerja lurus dan konsisten walau tanpa sumpah.

Hanya saja ia takut dan kuatir akan sumpah serapah istrinya bila telat mengirimkan penghasilannya tiap bulan ke kampung sana di mana anak istrinya menetap.

Begitu pula sumpah serapah akan datang dari publik bila ada diwartakan seorang atau beberapa orang pejabat publik yang  telah mengingkari jabatannya. Sekaligus pula sumpah yang diucapkannya itu tidak sejalan dengan perbuatannya yang pada akhirnya berbuah hina dan telah dipandang sebagai orang yang telah merugikan negara dan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun