"Syukur deh, abang udah baekan. Moga besok gak meriang lagi narik Bajaj di Jakarta kite,"seloroh dua S berbarengan seraya nyeruput kopi pait yang Zaid cuma bisa melongo tidak ada jatahnya.
Keduanya termasuk Karim banyak mendengar kebahagiaan Zaid yang optimistis buat esok hari. Sebab dipikirannya, jalanan bakal lancar. Kecepatan bajajnya tiada halangan. Tarik sewa bisa sekali ngebut tiga atau empat penumpang bisa didapat dalam waktu cepat.
Ia hitung-hitung sekali dapat sewa dalam hitungan jarak tempuh yang lima kilo, kebutuhan bahan bakarnya tidak berapa banyak. Waktunya paling lima menit. Kalau empat penumpang saja dalam jarak yang sama, cuma 20 menit. Uang yang diperoleh bisa lumayan untuk kebutuhan istri, anak, sewa rumah. Sisanya pasti bisa ia simpan buat masa pensiun.
Dibanding sebelum ia dapat kabar Jakarta tidak macet lagi. Ketika macet, boro-boro empat penumpang dalam waktu 20 menit. Satu penumpang pada saat tarikan di jam kerja saja sudah lebih dari satu jam. Kadang ia nombok untuk kebutuhan bahan bakar.
***
Esoknya Zaid tampak semangat. Jam setengah tujuh pagi ia stand by. Jam tujuh pagi mulai bergerak dari kediamannya. Mulanya lancar, karena biasa, dari jalan MHT ke jalan utama lengang. Dari jalan utama ia susuri untuk menggaet penumpang, dan dapat akhirnya.
Ia antar kemudian penumpang perempuan berseragam coklat itu. Dari mulai ia angkut hingga perjalanan menuju kantornya sudah padat oleh kendaraan lain. Bajajnya seperti biasa tersendat. Ia heran. Katanya sudah bebas macet tapi ternyata tidak.
"Katanya sudah tidak macet Jakarta,"gerutu Zaid.
"Kata siapa, Bang?"
"Kata gubernur!"Zaid mulai suntuk, dan kesal.
"Yee, si abang. Pak gubernur bilang itu cuma bercanda. Lagian mana ada di Jakarta kagak ada macet."