Menteri Sosial Risma, nama pendeknya begitu, baru dilantik, sehari kemudian blusukan ke Jawa Timur, lalu menyusul di Jakarta, pusat aktivitasnya. Di Jakarta ia blusukan ke kolong jembatan, ke jalan protokol, dan entah kemana lagi kelak. Karena ia pejabat tinggi pemerintahan yang punya tugas, dan tanggungjawab setanah air.
Dari blusukannya itu muncul kemudian pemberitaan di media massa. Responnya aneka rupa, ada yang senang, juga ada yang meriang. Yang senang oleh aksinya, bisa menjadi pertanda pejabat tinggi ini membawa harapan bagi orang-orang yang secara statistik tergolong miskin atau di bawah garis kemiskinan.
Sementara yang meriang, menyebut kepada aksi menteri ini sebagai lebay, caper, atau macam-macam termasuk norak. Karena ada juga yang menyebut di Surabaya masih ada yang hidup di kolong jembatan, dan seterusnya.
Dari dua respon yang muncul itu sudah lazim adanya di negeri yang bejibun media massanya, termasuk online. Justru yang menarik adalah dialog yang dilakukan Menteri Risma dengan orang yang ditemuinya. Dikatakan olehnya secara garis besar di sini, mereka mesti maju, tidak hidup seperti ini lagi, punya tempat tinggal, mesti ada perubahan. Bahkan dikembalikan ke daerah asalnya jika orang yang ditemui menginginkannya.
Point dialog yang dilakukan menteri ini memang bakal multi tafsir. Rata-rata mengandung unsur dan muatan politis. Tapi lugas dan barangkali bisa dikatakan bahwa apa yang dilakukan menteri Risma sebagai sosialisme ala Risma.Â
Dalam kamus wikipedia disebut sosialisme adalah serangkaian sistem ekonomi, dan sosial yang ditandai dengan kepemilikan sosial atas alat-alat produksi, dan manajemen mandiri pekerja, dan seterusnya.
Sampai di sini bila dilihat secara sederhana atas teori itu, Kementerian Sosial punya tanggungjawab untuk setidaknya mengurangi angka statististik kemiskinan di tanah air, dengan melakukan program dan bentuk kegiatan yang langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sesuai kriteria miskin dan di bawah garis kemiskinan itu.
Dari dialog itu ada upaya untuk kalangan yang dikunjungi agar mampu memiliki alat-alat produksinya secara mandiri, berupa pelatihan kegiatan ekonomi untuk kemudian membuka usaha secara mandiri, semacam contohnya pecel lele itu. Konkrit, dan tidak setinggi langit.
Makanya takheran bila Menteri Risma melakukan kewajibannya yang bersifat simbolik sekaligus faktual dan sistemik menuju sasaran yang ingin dicapainya itu. Dan aksinya ini, kemudian direspon pemerintahan kota Jakarta Pusat untuk bersih-bersih di kolong jembatan belakang kantor Menteri Risma.
Respon demikian tidak perlu diartikan macam-macam. Memang sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintahan kota, termasuk pemerintahan kota yang ada di seluruh Indonesia terhadap kalangan yang sudah tertera di pasal 34 UUD 1945 bila pejabat setingkat menteri melakukan kerja lapangan.
Oleh karenanya, sosialisme ala Menteri Sosial ini setidaknya bisa menjadi contoh dan tauladan pemangku kepentingan, dan kebijakan di seluruh pemerintahan kota di tanah air. Bila saja respon demikian positif dan tidak dibenturkan oleh kepentingan politik, maka rakyat kebanyakan sebagai penonton akan bisa melihat, dan menilai outputnya yang kelak  bakal punya nilai positif juga.
Akhirnya, membangun trust dan loyality yang sedang dipamerkan Menteri Risma semoga saja bisa berbuah manis di masa pemerintahan sekarang ini. Ada kepercayaan dari Menteri agar orang-orang yang selama ini ada di konstitusi untuk dapat sejahtera, namun juga ditunggu loyalitas mereka untuk mampu bersanding, dan bekerja sama dengan segala program, dan bentuk kegiatan Menteri Risma. Juga dukungan segala macam pemangku kepentingan.
Soal bahwa aksi Menteri Risma itu ditafsirkan untuk kepentingan politik pada pemilihan presiden 2024, Tau ah gelap!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H