Ini salah satu  pengalaman di tahun 1991 dari sekian banyak pengalaman pendakian yang pernah dilakukan. Ketika itu kami mendaki gunung Slamet dan Lawu di Jawa Tengah usai tiga hari Idul Fitri. Entah bagaimana mulanya hingga kami bisa satu sama lain pegang janji untuk mendaki dua gunung sekaligus di Jawa Tengah itu.
Pegang janji demikian oleh karena di saat itu belum ada telekomunikasi gawai. Cuma antartelpon rumah masing-masing. Aku dan Iman di Jakarta, dan kawan Kz di Surabaya. Maka jadilah kami berjumpa di stasiun Solo Balapan, Solo.
Tiba di stasiun ini pagi hari. Kami pun jumpa di sini. Istirahat sebentar, lalu perjalanan diteruskan ke kaki gunung Lawu di kabupaten Karang Anyar. Tidak makan waktu. Kami pun tiba di kaki gunung. Suasana sepi, dan pos penjagaan pun kosong di gunung Lawu ini. Yang ada cuma kicau burung, dan desir angin sekitar pukul sembilan pagi.
Perjalanan ringan, dan santai pun kami lakukan. Boleh dibilang sambil istirahat kami bisa berjalan meniti jalan setapak yang sudah ada sejak dulu.
Ransel ukuran 60 liter, dan perlengkapan di dalam cukup kiranya mendukung dua pendakian puncak gunung ini. Karenanya bukan halangan sepanjang semua dilakukan untuk menikmati keindahan alam puncak gunung-gunung tersebut.
Selama waktu pendakian tidak ada persoalan, diselingi istirahat beberapa saat di pos tertentu. Kami pun tiba kemudian usai sekitar delapan jam meniti jalan setapak menuju puncak Gunung Lawu dengan ketinggian 3265 Mdpl jelang maghrib.
Di puncak sepi jempling. Angin berembus kencang. Cuma ada tawa dan canda kami bertiga di puncak yang memiliki beberapa seundang atau sumur, yang di sekitarnya juga berserakan kembang-kembang yang entah oleh siapa ditaburkan di situ. Kami menengok tempat-tempat tersebut.
"Aroma mistis kental di sini, Bung,"kata Kz.
"Kelihatannya begitu. Ada beberapa dupa yang masih menyala di situ,"timpalku menunjuk ke arah asap yang mengepul di payungi oleh seng sebagai atapnya. Iman mengamini percakapan ini. Ia bagian dari kampus sebagai mahasiswa yang bukan tim organisasi kami.
Tidak ada yang kami lakukan. Kami hanya duduk saling berhadapan sembari menikmati keheningan di puncak ini juga membuat masakan sekadarnya. Rintik gerimis pun datang.
Mulanya kami akan membuka tenda, maksudnya bukan benar-benar tenda, tapi membuat bivak. Bivak segitiga atau segi empat, terserah sepanjang ponco, tali tambang, tali plastik, pisau, golok, dan matras sedia. Namun urung kami lakukan. Sebab rasanya kami merasakan suasana yang tidak menyenangkan di puncak ini. Â