Dari bawah pohon kelapa yang teduh, ia lepaskan kaca mata hitamnya. Duduk bersandar. Pejamkan mata, lalu menjalin benang-benang ingatan yang sekarang terpintal membentuk kain yang penuh corak dan warna. Yang satu sama lain melukiskan cerita perjalanan dari kehidupannya. Corak dan warna itu yang kemudian membuatnya menjauh dan menepi di pantai tak bernama ini.
Bersama benih yang ada di rahimnya ia bertaruh untuk meninggalkan suami dan lelaki itu. Dan, ia tak meninggalkan jejak sama sekali. Pergi selamanya untuk menjemput kehidupan baru yang ia sendiri tak mengetahui dengan pasti jalannya.
Tidakkah ini prahara baginya? Bukankah ini gelombang yang telah membawa serpihan sampah perbuatannya?Ia menyadari hal ini dalam situasi yang terbelenggu oleh pilihan. Lelaki itu atau suaminya?Dan sekali-kali tidak untuk keduanya.
Anita pun menghilang sementara di batas kemampuannya mengambil keputusan.
Namun dari tempat yang teduh oleh dedaunan pohon kelapa itu ia melambaikan tangan pada seorang pria asing, Yugoslavia yang berlari ke arahnya. Mereka bergumul kemudian di atas pasir putih pantai yang tak bernama.
Anita yang memiliki darah Israel telah menemukan cara bagaimana hidup di dunia dengan benih-benih campuran, Asia maupun Eropa. Dan, benih itu akan ia simpan kemudian hingga lahirnya. Sebagaimana cita-cita rohaninya sejak ia beranjak dewasa dulu.
Anita pun hidup dalam dunia yang ia cari, dan inginkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H