Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Sampai Juga di Stasiun Tujuan

19 Juli 2020   17:47 Diperbarui: 21 Juli 2020   13:27 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Naik Ka-Er-El menjadi rutinitas Kang Soleh dari Bogor ke Jakarta. Dari kediamannya ke stasiun, ia mesti pikul talas sejauh satu kilometer. Dan, untuk memikul talas menuju stasiun ia selalu ditemani rintik hujan. Sepanjang jalan itu tubuhnya selalu basah oleh cuaca yang demikian. Kang Soleh tetap menjalaninya, dengan tujuan stasiun Pasar Minggu. Kenapa ia tidak naik angkot? Dulu di tahun 1990 ini tidak begitu banyak mobil angkutan kota seperti sekarang. Karenanya ia jalan kaki, sekaligus hemat.

Di Pasar Minggu inilah ia melakukan usahanya. Talas yang dijual memiliki banyak pelanggan. Jam tujuh pagi sudah di pasar, maka biasanya pukul 10 sudah selesai. Sehingga tidak masalah baginya meski pagi sejak matahari belum keluar ia sudah bergerak ke arah stasiun.

Di tahun itu juga kereta api tidak semegah sekarang. Kereta api yang dinaiki di jam-jam biasa ia naik begitu padat. Penumpang rata-rata pedagang sayuran seperti dirinya, dan sedikit pekerja maupun mahasiswa atau pelajar. Di tambah pengemis, dan pengamen yang bergantian turun naik memadati tiap gerbongnya. Di gerbong ke empat ini, Kang Soleh duduk tenang.

Di sampingnya sekali duduk seorang perempuan muda dan kakek untuk tujuan yang berbeda. Sementara pikulan talas ia tempatkan di depannya, yang memang agak mengganggu petugas pemeriksa karcis, maupun orang yang sedang mencari kursi. Tapi kang Soleh santai saja, dan sudah biasa keadaan ini. Sekali-kali ia kibaskan baju yang dikenakan dari basah terkena hujan tadi. Pecinya juga, meski agak nongol uang kertas seribu rupiah yang diselipkan di belahan peci.

"Talasnya berapa, kang?"Tanya perempuan di sampingnya tiba-tiba yang melirik pada apa yang dibawanya.

"Rp500,-"

"Saya ambil dua ya,"balasnya lagi.

Kang Soleh kemudian mengikatnya dan memberikan talas itu padanya. Penglaris demikian kata hatinya menghibur diri. Kakek di sampingnya juga tersenyum senang atas transaksi ini. Ia memuji talas yang dijual kang Soleh tampak segar, dan besar. Dan ia sempatkan juga untuk bertanya, dijual di mana talas ini yang dijawab kemudian oleh kang Soleh, di Pasar Minggu.

Kereta terus berjalan. Sudah dua stasiun dilewati dari stasiun Bogor, yakni Cilebut, dan Bojonggede. Di stasiun ketiga, Citayam, perempuan ini pun turun, berbarengan dengan si kakek, juga penumpang lainnya. Namun tak lama, duduk kembali di sampingnya seorang pedagang asongan, dan kereta meluncur kemudian. Bersamanya tidak ada dialog. Kang Soleh memejamkan mata, melepas penat sebentar.  Ia merasa perlu melakukan ini untuk memulihkan sementara kondisinya dari dingin di tubuhnya. Tapi rupanya stasiun-demi stasiun hingga terlewat pasar Minggu, ia tak sadar juga.

Di stasiun Manggarai, baru ia membuka mata. Talas dan pikulannya tetap utuh. Ia kemudian menengok dari kaca jendela, dan terkejut sebentar, ternyata stasiun tujuannya telah lewat. Maka ia pun turun di stasiun Manggarai ini dengan tergesa. Tidak lama ia menunggu kereta, kang Soleh kembali ke tujuan semula Pasar Minggu. Ia lega sesaat di gerbong ke dua ini. Di sebelah duduknya seorang ibu dengan dua anaknya. Mereka berbincang kemudian.

"Talas dari mana pak?"Tanya wanita ini dengan dialek Jawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun