Mohon tunggu...
Erusnadi
Erusnadi Mohon Tunggu... Freelancer - Time Wait For No One

"Sepanjang sungai/kali masih coklat atau hitam warnanya maka selama itu pula eksistensi pungli, korupsi dan manipulasi tetap bergairah "

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis Itu Asik Asal Tidak Comot Paragraph Sana Sini

17 Mei 2020   05:24 Diperbarui: 18 Mei 2020   05:07 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu ketika ingin menulis sesuatu hal itu biasanya dilakukan dalam sebuah buku, yang disebut diary. Isinya soal keseharian di sekolah, pergaulan, maupun tetek bengek di rumah, terkait nasehat orang tua, dan sebagainya. Dalam menulis ini juga tidak terikat oleh tanda baca, kalimat, anak kalimat, atau prosedur teknis cara menulis yang benar sebagaimana pelajaran bahasa di sekolah. Terpenting adalah tulis saja apa yang mau ditulis!

Setidaknya sampai tingkat sekolah menengah, bahkan tamat dan selanjutnya kuliah, perubahan isi dan teknis menulis sedikit ada perubahan.

Perubahan ini pun tentu diikuti oleh pelatihan terutama pelatihan jurnalistik, entah jurnalistik islam, umum, maupun kepencintalaman. Memang diakui tidak ada kaitan antara fakultas yang digeluti dengan pelatihan semacam tulis menulis itu.

Tapi ini karena minat yang didorong oleh kesukaannya membaca cerita pendek dan novel, semisal karya Ahmad Tohari, Pramudya Ananta Toer, maupun ajip Rosidi, dan penulis tua lainnya, sehingga relative cara menulis mengalami perkembangan di masa itu.

Hanya saja dulu ketika menulis kerap kali memadukan unsur tulisan dari suatu referensi tertentu, meski tulisan itu bukan karya ilmiah. Sementara yang tulisan ilmiah pun nyaris 50 persen nyomot dari referensi  itu. Sampai di situ menulis belum mencapai klimaksnya.

Klimaks menulis itu akhirnya ditemukan tatkala apa yang ditulis yang bersumber dari benak dan pikiran semata tertuang dalam bentuk aslinya.

Di mana tulisan itu benar-benar mewakili pribadi, seperti isi tulisan, gaya bahasa, maupun pola menyusun kalimat, apakah mengalir atau tidak, apakah runtut atau tidak, apakah  dari paragraph yang satu ke paragraph berikutnya bukan comotan?

Dan, klimaksnya, itu tulisan rata-rata tidak mengalir sebagaimana yang menjadi harapan, dan juga tidak runtut sebagaimana para penulis kawakan.

Namun demikian dari situ bisa dipetik pelajaran, untuk menulis perlu membaca, dan untuk membaca dibutuhkan kejelian mengungkap setiap baris kalimat plus dengan tanda bacanya.

Karenanya tiap orang jika sudah memasuki tarap semacam ini, akan bisa menilai, apakah suatu tulisan itu otentik buah pikirannya, atau comotan dari sumber lain atau menduplikasi sebagian atau seluruhnya, atau agar tidak kehilangan disebut sebagai penulis?

Sebab jika demikian adanya, maka tulisan yang semestinya karya intelektual, seberapapun kemampuannya, malah menjadi  karya yang kaleng-kaleng betapa pun bagusnya.

Tulisan yang bagus dan baik itu menurut saya, adalah tulisan yang mewakili kemampuan diri pribadi untuk menuangkan pikirannya.

Tidak peduli dengan penilaian apapun, kecuali memang ada jurinya. Sebab tidak ada kemampuan menulis anak SD disamakan dengan anak SMA, atau kemampuan menulis siswa SMA sejajar dengan mahasiswa semester akhir, atau mahasiswa semester akhir disamakan dengan professor ahli bahasa atau sekelas novelis dan cerpenis. Tidak ada. 

Jadi sangatlah beruntung andai tiap kita menulis berbasis olah pikiran semata, tanpa perlu memadukan unsur tulisan yang bersumber dari buku lain, atau menduplikasi tiap paragaraph dari sumber buku tertentu. Kecuali memang menulis untuk jurnal ilmiah, tesis atau disertasi, yang sumber teoritisnya patut diajukan sebagai bahan kajian.

Apalagi jika menulis yang sifatnya informative atau hiburan semata,  baiknya ditulis sebagaimana kita ingin menulis sesuai yang ada dipikiran.

Sangat rugi seandainya menulis hanya untuk bisa diakui oleh khalayak, padahal ada satu adagium,bahwa  produk tulisan pribadi pada usia tertentu merupakan cermin  bahasa verbal pribadi itu.

Pendeknya, antara apa yang ditulis dengan apa yang diomongkan biasanya keluarnya sama. Artinya kemampuan tulisan dan lisan itu sangat sejajar (write and talk).

Jarang sekali ada orang yang punya kemampuan menulis tapi ketika bicara gagap atau tidak sesuai dengan cara atau membuat kalimat dalam suatu karyanya.  Sangat jarang. Apakah kita semua sudah menulis tanpa comot sana comot sini sekedar untuk dibilang bagus?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun