Namun di pos ronda, Haji Torib masih terlelap, pulas, juga  nyenyak, padahal nyamuk banyak di sana. Tapi ngoroknya itu sudah jelas menandakan ia sama sekali tak mendengar kepanikan Kartam yang terbirit-birit sebelumnya.
Diam-diam makhluk yang ditemui Kartam itu pun mengangkat tubuhnya secara perlahan, dan memindahkan Haji Torib dari pos ronda ke sisi tegalan di mana semut rangrang banyak di sekitarnya.
Usai itu, mahkluk itu pun meninggalkannya, seraya menahan tawa. Dari jarak yang masih bisa dilihatnya, tampak haji Torib seperti orang yang kebingungan sambil menepuk-nepuk seluruh tubuhnya. Semut sudah mengerubunginya. Di kaos, di celana, bahkan celana dalam. Ia tetap masih terheran-heran. Ia panggil Kartam berulang-ulang, tapi tak ada sahutan, hanya suaranya di tengah malam menjelang pagi itu yang keras. Sadar tak ada orang disekitarnya. Juga sadar tadi ia tidur di bale pos ronda, tapi kini ada di tegalan, maka ia pun lari kocar kacir meninggalkan sandal kesayangannya dari merk terkenal.
Esoknya, tak ada sesuatu yang istimewa. Semua berjalan sebagaimana adanya. Kartam, istrinya, tetangga, bahkan Haji Torib juga tak bersuara atas apa yang dialaminya semalam. Semuanya beraktivitas seperti biasa lazimnya sebuah desa.
Kartam tidak ditegur Haji Torib, apalagi menyuruhnya. Padahal Kartam menanti, bahkan siap untuk dipecat. Tapi akhirnya justru Dapi yang menuju kediamannya, dan mengajaknya menggarap sawah bersama-sama. Mereka seolah kompak, dan masing-masing tutup mulut, sama sekali untuk tak mengisahkan peristiwa semalam.
Hanya Kartam yang tampak serius memperhatikan pohon mangga itu tatkala berada di sawah milik Dapi. Matanya berulangkali di arahkan ke sana. Ia diam-diam sangat kuatir mahkluk yang ditemuinya semalam bakal muncul tiba-tiba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI