“Maafkan aku ya, Fi. Maafkan aku bila ada kesalahan selama ini, baik sebagai suami, sebagai teman, dan sebagai kepala rumahtangga. Maafkan ya,”kataku dengan suara serak, yang disusul linangan air mata darinya.
“Iya mas, maafkan aku juga,”balasnya lirih.
Seiring itu kumandang takbir pun masih terdengar jelas. Memuji keagungan Yang Maha Segalanya.
“ Allaahu akbar Allaahu akbar Allaahu akbar, laa illaa haillallahuwaallaahuakbar Allaahu akbar walillaahil hamd”
Idul Fitri tahun lalu demikian adanya. Semua terasa indah. Namun rasanya waktu terlampau cepat bergerak. Seolah ia, masih ada di sini menemaniku malam ini.
Aku tercenung. Idul Fitri 1437 H kelak, tiada lagi yang bisa aku rasakan sebagaimana kebanyakan orang. Aku bersiap mudik tak seperti tahun sebelumnya. Aku pun membayangkan, tiada lagi yang menunggu di depan pintu rumah usai sholat Id di kampung sana untuk saling mengungkapkan kata maaf sebagaimana biasanya. Tak ada lagi senyum mengembang yang menghiasi pagi di bulan syawal. Tiada lagi semuanya itu.
Aku mudik hanya untuk menziarahi makamnya. Aku pun tertunduk pilu, sedih, dan sejuta perasaan hampa lainnya di tengah malam ini.
“Maafkan aku, Fi..”
***
Mengenang 105 hari istriku almarhumah Mufidha Rachmi malam ini. Semoga Allah Swt memberikan tempat yang layak untuknya. Aamiiin ya Robbal Allamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H